Permasalahan Limbah Cair : Cari Solusi Jangan Sekedar Advokasi!

limbah05-j

Seorang pengusaha batik tulis sutra di Dusun Sidorejo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta pernah mengeluh, “saya kasihan melihat bayi-bayi di sekitar sini, sekujur tubuh mereka dipenuhi bercak merah”. Ia tidak menyangka jika limbah cair dari tempatnya memproduksi batik dapat berpengaruh demikian buruk. Namun K.R.T Daud Wiryo Hadinagoro – begitu nama bujangan yang masih kerabat keraton itu – beruntung, karena ia tidak sampai diprotes oleh warga. Daud berinisiatif segera membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah limbah cair pabriknya yang banyak mengandung zat berwarna. Beberapa bulan setelah ia membangun IPAL, mutu air tanah di sekitar pekaryan batiknya – Daud menyebutnya demikian ketimbang pabrik – berangsur-angsur membaik.

Batik yang dihasilkan oleh Daud memang agak berbeda dengan kain batik produksi pabrikan lain yang menggunakan teknologi cap atau sablon. Selain masih menggunakan cara konvensional, kain yang dipergunakanpun terbuat dari bahan sutera. “Dengan 50 orang karyawan, saya membatasi produksi hanya 30 helai kain pertahunnya,” jelas Daud. Maka tidak usah heran jika selembar kain batik sutera produknya dapat mencapai harga Rp. 9.000.000,-. Suatu angka yang fantastis bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan.

Air limbah industri tekstil seperti batik dihasilkan dari proses pencelupan pemberian warna dan pencucian. Dari sekitar 360 perusahaan batik yang ada di Indonesia, sedikit sekali diantara mereka yang menempatkan proses pembuatan batik sebagai karya. Perusahaan-perusahaan itu lebih melihat batik sebagai produk yang harus dibuat massif ketimbang sebagai hasil karya cipta yang spesifik dan unik. Jika Daud yang hanya memproduksi 30 helai setahun saja air limbahnya dapat membuat gangguan kesehatan kulit, apalagi pabrik batik yang memproduksi ribuan helai dalam setahunnya. Bisa dibayangkan volume air limbah yang mereka hasilkan.

Di Indonesia, kisah yang dialami oleh Daud merupakan hal yang jamak dan mudah ditemukan. Akan tetapi tidak gampang menemukan pengusaha yang peduli terhadap pencemaran lingkungan. Parahnya, LSM hanya dapat berteriak mengingatkan para pengusaha tanpa dapat memberikan solusi pengolahan limbah cair yang tepat guna. Hal itu terungkap dalam Pelatihan Dasar Teknologi Tepat Guna Pengolahan Limbah Cair, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Limbah Cair (PUSTEKLIM), di Yogyakarta, 15-26 Juli 2002 yang lalu.

PUSTEKLIM merupakan sebuah proyek kerjasama antara APEX (Asian People’s Exchange) Jepang dengan Yayasan Dian Desa Yogyakarta. APEX yang didirikan dan dipimpin oleh DR. Nao Tanaka adalah sebuah lembaga non profit dari Jepang yang bergerak dalam bidang pengembangan masyarakat dan lingkungan. Salah satu kegiatan APEX yang berdiri tahun 1987 ini ialah mengembangkan teknologi tepat guna pada pengolahan limbah cair. Sedangkan Yayasan Dian Desa adalah LSM yang juga bergerak dalam bidang pengembangan masyarakat. Dian Desa yang didirikan tahun sejak 1972 tersebut memiliki visi dan misi untuk meningkatnya taraf hidup masyarakat pedesaan dengan mendayagunakan teknologi tepat guna. Kerja sama APEX dengan Yayasan Dian Desa Yogyakarta sebenarnya sudah dimulai cukup lama. Salah satu bentuk kegiatan yang pernah dirintis oleh kedua lembaga tersebut adalah pengembangan teknologi pengolahan limbah secara biologi dan dikenal dengan sebutan RBC atau Rotary Biological Contactor.

Direktur PUSTEKLIM, Ir. Anton Soedjarwo mengingatkan kepada kepada seluruh stake holder (pelaku) yang bergerak di bidang  lingkungan hidup, jangan hanya terbatas advokasi dan penyadaran saja. Namun harus berupaya menyelesaikan masalah (problem solving). Ia mencurigai saat ini banyak pihak, khususnya LSM yang hanya dapat memetakan permasalahan, tapi lupa – atau tak mampu – memberikan solusi yang mendetail hingga teknis. Begitu pula halnya dengan halnya pengusaha yang sudah sadar dan ingin membangun IPAL. Mereka rata-rata bingung kepada siapa harus meminta tolong membuatkan IPAL yang tepat guna, effesien dan efektif baik dari segi investasi, konstruksi, perawatan maupun operasional.

Berkaca dari realitas tersebut, PUSTEKLIM mengadakan pelatihan teknologi tepat guna untuk aktivis Lingkungan, akademisi, pengusaha swasta dan instansi pemerintah. “Harapan saya, setelah pelatihan ini aktivis lingkungan tidak hanya bersuara lantang, namun juga dapat memberikan solusi alternatif,” tutur Anton dalam pembukaan pelatihan tersebut. Ia menambahkan, pelatihan dilaksanakan untuk memberikan ketrampilan dan pengetahuan agar dapat menyelesaikan permasalahan limbah cair. Pihak swasta yang mengikuti pelatihan diharap dapat mendesain dan membangun IPAL sendiri. Lebih lanjut pria yang enerjik yang gemar bernyanyi itu berjanji, “jika dibutuhkan, PUSTEKLIM akan mendukung secara teknis dari perencanaan, konstruksi hingga pemeliharaan paska konstruksi.”

PUSTEKLIM membatasi 35 orang peserta pelatihan yang benar-benar membutuhkan dan masuk kualifikasi. Dari ratusan calon peserta yang mendaftar, hanya 33 orang yang lolos dari seleksi. Sebanyak 9 orang dari LSM, 9 orang perwakilan pemerintah, 10 orang dari perusahaan swasta dan 5 orang akademisi. Peserta yang mengikuti pelatihan harus sudah mempunyai dasar pendidikan teknik (seperti kimia, sipil, biologi, teknologi lingkungan atau teknologi pertanian). Syarat lainnya ialah lembaga yang diwakili oleh peserta memiliki program/kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan limbah cair. Propinsi Bali diwakili oleh dua LSM, yaitu penulis sendiri yang mewakili Bali Fokus dan seorang dari Yayasan Wisnu. Bali Fokus saat ini memiliki program community Based Sanitation (CBS) sedangkan Yayasan Wisnu pernah bekerja sama dengan Dian Desa mendampingi industri tekstil di Bali yang berminat membangun IPAL.

Pelatihan PUSTEKLIM ini sangat berbeda dengan kebanyakan pelatihan lainnya. Dilaksanakan selama dua minggu penuh, dengan materi yang padat, dari yang bersifat teoritis hingga praktek. Teori yang diberikan pada kami, ditekankan pada dasar-dasar pengetahuan pengolahan limbah cair. Sedangkan praktek di lapangan, laboratorium, dan perancangan IPAL memberikan kami ketrampilan dalam merencanakan IPAL. Hampir 70% kegiatan pelatihan digunakan untuk praktek lapangan. Seorang dosen yang juga menjadi peserta pelatihan mengatakan kepada saya bahwa materi pelatihan ini merupakan materi kuliah 4 semester yang dipadatkan. Bisa dibayangkan bagaimana beratnya pelatihan dasar teknologi tepat guna pengolahan limbah cair ini.

Kualitas pelatihan PUSTEKLIM juga dapat dilihat dari nara sumber yang memberikan materi. Hampir seluruhnya merupakan praktisi, akademisi dan pakar di bidang pengolahan limbah cair. Seperti Dr. Nao Tanaka dan Dr. Kunihiro Morimoto, pakar limbah cair dari Jepang. Akademisi yang menjadi nara sumber ialah, Dr. Gogh Yoedihanto dari ITS, Dr. Ir. Tjandra Setiadi dari  ITB, Dr. Ir. Sunjoto dari UGM, Dr. Budi Widianarko dari Universitas Katolik Soegiopranoto Semarang, Ir. Sri Hartini dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga dan terakhir Direktur Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL) Yogyakarta, Ir. Soetomo. Beberapa praktisi pengolahan limbah cair yang menjadi fasilitator pelatihan antara lain, Direktur PUSTEKLIM Ir. Anton Soedjarwo, Manager divisi Pengembangan dan Penerapan Teknologi Tepat Guna PUSTEKLIM Herman Soedjarwo dan staff PUSTEKLIM lainnya.

Pada hari pertama, kami diajak mengidentifikasi permasalahan limbah cair. Ir. Sunjoto dosen di Fakultas Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta memaparkan bahwa permasalahan limbah cair di Indonesia selalu berkaitan dengan biaya investasi dan biaya operasional yang tinggi serta sistem birokrasi yang korup. Ia juga mengkritik banyak para teknokrat yang tidak berwawasan lingkungan, yang terjadi malah birokrat yang berorientasi proyek ketimbang berwawasan lingkungan. Sunjoto berharap agar para teknokrat yang membangun negeri ini dapat berpikir lebih komprehensif. Sebuah himbauan kepada mahasiswa teknik juga tentunya, sebagai calon teknokrat di negeri ini.

Pakar limbah cair dari Jepang, Dr. Nao Tanaka memberikan gambaran umum permasalahan limbah cair di Jepang. Ia menegaskan bahwa salah satu kekuatan yang aktif menciptakan kondisi Jepang yang lebih ramah lingkungan ialah masyarakat sipil. Industrialisasi di Jepang dibarengi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat Jepang terhadap lingkungan mereka. Kasus Minamata adalah salah satu contoh dimana masyarakat Jepang tidak hanya menuntut kompensasi kepada pabrik Chisso, namun juga mampu menekan pemerintah Jepang untuk memperbaiki produk hukum mereka agar lebih keras mengontrol limbah cair yang dihasilkan pabrik-pabrik di Jepang. Sedikit demi sedikit Jepang dapat memperbaiki kualitas lingkungan mereka. Menurut, Tanaka hal ini dapat terjadi berkat gerakan civil society di Jepang yang menjadi pressure group bagi pemerintah dan kalangan industri.

Presentasi Drs. Soekamto dari PUSTEKLIM memberikan gambaran umum pencemaran limbah cair di Yogyakarta. Selama ini PUSTEKLIM berupaya menyusun sebuah laporan lengkap mengenai profil limbah cair di Yogyakarta. Harapannya dapat menjadi sumber informasi untuk kemudian membuat formulasi penanganannya. Soekamto juga mengemukakan informasi menarik bahwa sekitar 25 hingga 50%  kontribusi pencemar badan air di Yogyakarta disebabkan oleh bahan organik limbah cair yang dibuang begitu saja.

Pelatihan hari kedua dibuka oleh Dr. Budi Widianarko staff pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Katolik Soegiopranoto, semarang. Ia membeberkan sumber-sumber pencemaran dan dampaknya terhadap manusia dan lingkungan. Kemudian Ir. Azharuddin, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian BAPEDALDA Propinsi DIY memberikan informasi tentang regulasi pengolahan limbah cair di Indonesia. Materi karakteristik limbah cair selain diberikan secara teori oleh Ir. Sri Hartini dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, juga diberikan praktek kepada peserta untuk mengambil sampling air limbah, mengukur hingga analisa sampel di laboratorium. Air limbah terdiri atas tiga karakteristik yaitu fisikawi, kimiawi dan biologis. Beberapa karakteristik air limbah dapat langsung diamati di lapangan, seperti warna maupun bau. Namun untuk beberapa karakteristik pokok seperti kadar BOD dan COD harus dianalisa di laboratorium.

Direktur Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL), Yogyakarta,  Ir. Soetomo menerangkan prinsip-prinsip pengolahan limbah cair pada hari ketiga. Dilanjutkan oleh Herman Soedjarwo, Manajer divisi Pengembangan dan Penerapan Teknologi Tepat Guna PUSTEKLIM, yang secara mendetail membagi pengalamannya dalam mendesain maupun membangun unit pengolahan  pre-treatment. Pada tahap pre-treatment terdapat beberapa pilihan desain yang dapat digunakan secara terpisah atau kombinasi tergantung kebutuhannya. Proses yang umum dipakai pada pre-treatment ialah screening, grit chamber, grease removal, equalization, dan sedimentation.

Selama tiga hari penuh, dari hari ketiga hingga hari kelima, secara bergantian Nao Tanaka, Herman dan Anton Soedjarwo memberikan materi treatment hingga post-treatment. Beberapa pilihan unit pengolahan utama pada limbah adalah, septic tank, imhoff tank, anaerobic filter, baffle septic tank, coagulation and floculation, activated sludge, rotary biological contactor (RBC) dan oxidation ditch. Masing-masing unit pengolahan itu memiliki keunggulan dan kekurangan. Untuk memilih unit pengolahan yang tepat, harus melihat karakteristik limbah cairnya terlebih dahulu. Umumnya untuk limbah yang kadar BOD maupun COD tinggi, tidak cukup dengan memakai satu unit pengolahan saja dan harus dikombinasikan dengan beberapa unit pengolahan utama yang lain. Kemudian pada post-treatment ada beberapa sistem yang bisa dipilih. Baik secara terpisah maupun dikombinasikan, yaitu wetlands, sterilization, filtration dan sludge disposal.

Hari keenam, Dr. Ir. Tjandra Setiadi, dosen di Fakultas Teknik Kimia ITB, mempresentasikan hasil penelitiannya tentang pengolahan air limbah tekstil begitu pula Ir. Gogh Yoedihanto dari ITS yang menawarkan produk RABIC-PRO untuk pengolahan limbah industri tahu. Dilanjutkan oleh kakak beradik Herman dan Anton Soedjarwo secara bergantian membagi pengalaman membangun IPAL untuk Rumah Sakit, hotel, limbah domestik dan industri kulit.

Kunjungan lapangan dilaksanakan pada hari ketujuh. Kami dibawa keliling Kota Yogyakarta untuk melihat beberapa IPAL. Antara lain, IPAL di Rumah Sakit Panti Rapih, IPAL komunal Brontokusuman dan terakhir IPLT Sewon. IPAL Brontokusuman adalah IPAL untuk air limbah domestik. Proses pembangunannya merupakan hasil gotong royong antara masyarakat dan Pemda. IPAL ini bisa dikatakan merupakan contoh Community Based Sanitation yang berhasil, karena masyarakat sendiri yang berswadaya membangun IPAL komunalnya. Dahulu masyarakat Brontokusuman selalu membuang air limbah, baik itu air bekas mencuci, mandi maupun kakus ke sungai yang tak jauh dari pemukiman mereka. Kini masing-masing rumah telah memiliki saluran perpipaan yang dikumpulkan ke satu unit IPAL. Sistem IPAL komunal seperti ini sangat cocok bagi wilayah yang memiliki permasalahan sanitasi dan kepadatan penduduknya sangat tinggi. Biasanya permasalah sanitasi ada di kampung-kampung kumuh perkotaan, termasuk beberapa wilayah di Denpasar.

Setelah satu minggu penuh diberikan teori dasar-dasar pengolahan limbah maka pada satu minggu terakhir, peserta melakukan praktek perencanaan IPAL. Kami dibagi menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok bertugas merancang IPAL yang berbeda. Yaitu IPAL untuk industri tekstil (batik), rumah sakit, industri tahu, penyamakan kulit dan hotel. Mulai dari pengumpulan data, seperti luas lahan, jumlah pegawai, kapasitas produksi dan volume limbah cair yang dihasilkan oleh industri/hotel tersebut. Lalu praktek pengambilan sampel dan analisa karakteristik air limbah di laboratorium PUSTEKLIM. Hingga perencanaan/desain IPAL, harus dapat diselesaikan peserta dalam waktu 3 hari. Hasil perencanaan IPAL yang kami buat, dipresentasikan pada hari kesebelas.

Karena keterbatasan pengetahuan dan waktu yang diberikan untuk mendesain, hasil perencanaan IPAL yang disusun para peserta tentunya jauh dari sempurna. Akan tetapi, seluruh pelatihan seperti ini dapat membantu mengidentifikasi dan juga menyelesaikan permasalahan limbah cair hingga teknis perencanaannya. PUSTEKLIM berharap paska pelatihan, para peserta dapat mengembangkan jaringan di daerahnya masing-masing. Sehingga terbentuk komunikasi yang lebih intensif antara PUSTEKLIM dengan para pelaku yang bergerak dalam pengelolaan limbah cair. Bagi mahasiswa Fakultas Teknik juga dibuka peluang untuk kerja praktek di PUSTEKLIM. Sebuah panggilan dan juga kesempatan bagi mahasiswa teknik Universitas Udayana tentunya. Untuk tidak sekedar advokasi, namun juga memberikan solusi.@

*Reza Hendrawan adalah (maha)siswa

[Tulisan ini pernah dimuat Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana, MAESTRO, edisi 20/X/2002]

Sumber foto Pusteklim

One thought on “Permasalahan Limbah Cair : Cari Solusi Jangan Sekedar Advokasi!