Berkelana ke Pulau Ende (edisi revisi)

 

Catatan edisi revisi: Saya menerima banyak keluhan, kekecewaan sampai dengan kemarahan dari para pembaca tulisan ini yang diposting melalui kotak komentar. Saya mohon maaf apabila tulisan ini menyinggung beberapa pembaca tertentu. Tidak ada sedikitpun niat saya untuk menyinggung kelompok masyarakat tertentu, apalagi melecehkannya. Mungkin gaya penyampaian dan beberapa kalimat (atau kata) dalam tulisan ini kemudian menimbulkan berbagai penafsiran negatif, sehingga saya menerima berbagai complaint tersebut. Namun mohon membaca tulisan-tulisan saya tentang Pulau Ende sebagai kesatuan yang utuh. Ada setidaknya 4 tulisan tentang Pulau Ende di Blog ini, yang sesungguhnya menampilkan sisi positif Pulau Ende. Dari sebuah pulau yang sebelumnya selalu tertimpa wabah diare (Kejadian Luar Biasa berturut turut sebelum tahun 2007), hingga menjadi pulau yang indah dan bebas dari perilaku buang air besar sembarangan. Ini fakta yang luar biasa dan patut diberi penghargaan! Fakta itu adalah: Saat ini, masyarakat di Pulau Ende tidak lagi buang air besar secara sembarangan di pantai! Namun, untuk tidak menimbulkan penafsiran yang negatif, satu paragraf awal (paragraf yang menjadi penyebab utama penafsiran negatif pembaca, walaupun paragraf itu bukanlah pesan utama dalam tulisan ini) saya hapus dan beberapa kata ditulisan ini saya revisi sehingga lebih enak dibaca dan menyejukkan. Selamat membaca! 


View Larger Map

Bagi mereka yang belum familiar dengan NTT, ada baiknya untuk melihat peta diatas, yang menunjukkan lokasi tepatnya Pulau Ende. Dari Kupang, Ibukota Nusa Tenggara Timur, perjalanan udara ditempuh sekitar satu jam untuk menuju Kota Ende, Ibukota Kabupaten Ende yang terletak di sisi selatan Pulau Flores. Ada dua maskapai kawakan di NTT, TransNusa dan Merpati. Boleh pilih salah satunya, tapi hati-hati karena salah satu diantara kedua maskapai itu ada yang menggunakan manajemen angkot. Boleh percaya boleh tidak, dan bukan sekedar isapan jempol. Silahkan buktikan sendiri.

Melanjutkan perjalanan dari Kota Ende ke Pulau Ende hanya dapat dilakukan dengan menyeberangi lautan menggunakan kapal motor. Setiap hari ada kapal motor khusus penumpang yang secara reguler berlayar dari Pulau Ende ke Kota Ende dan sebaliknya. “Setiap hari selalu saja ada taxi yang ke Pulo,” begitu kata Sobirin, warga Pulau Ende yang bekerja di Kota Ende kepada saya. Hah! Taxi! yang benar saja. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata taxi yang dimaksud Sobirin adalah taxi laut atau kapal motor penumpang. Ternyata masyarakat di Ende memiliki sebutan yang unik untuk Kapal motor penumpang. Bukan itu saja, nama taxi yang melayani rute Ende – Pulau Ende pun bermacam-macam. Ada taxi macan dan taxi merpati.

Taxi Laut

 

Pagi itu saya beserta tim dari Kabupaten Ende memilih untuk menyewa kapal motor milik seorang nelayan kaya di Pulau Ende. Tidak seperti biasanya, kapal motor itu tidak berlabuh di dekat pasar sehingga tidak ada sampan kecil yang biasanya dipakai untuk menaikkan penumpang dari daratan ke atas kapal. Terpaksa kami harus berlarian menyiasati ombak untuk dapat lompat naik keatas kapal yang merapat kepantai. Pada saat ombak surut dan sebelum kembali menerjang bibir pantai, kita harus bisa menggapai geladak kapal motor. Satu, dua orang berhasil naik tanpa harus basah kuyup diterjang ombak. Tapi orang ketiga, Pak Servas, seorang aktivis NGO lokal di Ende, harus merelakan celana panjangnya basah. Dia terlambat melompat. Lalu giliran saya. Satu… dua… dan tiga…. Hupp…. Saya sukses naik keatas kapal motor dengan celana yang basah sampai sebatas pinggang. Untung handphone saya taruh didalam tas kecil sebelumnya, sehingga aman dari terjangan ombak yang berhasil mengecoh saya tadi.

Diatas Taxi laut

Oh ya, misi saya ke Pulau Ende kali ini ialah untuk memonitoring pembangunan jamban sekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten Ende bekerjasama dengan UNICEF, melaksanakan pembangunan 6 unit Jamban Sekolah dari 8 Sekolah Dasar yang ada di Pulau Ende. Saya berkesempatan mengunjungi 6 SD tersebut. SD Ekoreko adalah yang pertama saya datangi. Pembangunan jamban sepertinya berjalan dengan lancar walaupun para tukang menggerutu karena material yang didatangkan dari Kota Ende selalu telat. Dari berbagai sudut pandang, saya rekam jamban itu kedalam kamera digital. Usman, seorang siswa SD Ekoreko yang duduk di kelas 5 SD melihat dengan takjub kamera digital yang saya pegang. Tanpa saya sadari, Usman memperhatikan layar kecil dalam kamera digital itu. Pandangannya penuh selidik. Ketika saya sadar akan ulahnya, saya membidikkan kamera kearahnya, Usman langsung pasang aksi. Sedetik kemudian, puluhan kawannya datang bergerombol meminta difoto juga.

Anak SD di Ekoreko

Mencicipi makanan Pulau Ende tentunya merupakan pengalaman luar biasa. Untungnya saya dapat kesempatan itu, setelah Ibu Maimunah, kepala sekolah satu-satunya Madrasah di Pulau Ende, MIS Nurul Umah, mengundang saya dan tim kabupaten untuk makan siang disekolahnya. Makanan khas itu diolah dari semacam ubi-ubian yang banyak tumbuh di Pulau Ende. Ubi dicacah halus, direbus dan seterusnya, sampai berbentuk “seperti nasi kuning”. Saya sempat terkesima melihat tampilannya yang menggiurkan dan aromanya yang lumayan enak. Ah, mengapa tidak mencoba. Satu piring saya tandaskan. Mungkin karena lapar. Tapi rasa ubi itu sungguh enak. Setelah selesai makan, Pak Sergius, staff Dinas Pendidikan Kabupaten Ende, memperingati saya. Kalau tidak terbiasa makan ubi-ubian, perut bisa menari-nari. Dan memang benar, separuh perjalanan di Pulau Ende hingga kembali ke Kota Ende saya lewati dengan perut yang terasa diaduk-aduk.

33 thoughts on “Berkelana ke Pulau Ende (edisi revisi)