Ancaman Pada Demokrasi: Ketika Media Tidak Lagi Netral

“Perang” antar dua kandidat calon presiden Indonesia, Prabowo dan Jokowi, semakin menajam. Menariknya, beberapa media cetak dan elektronik yang selama ini dianggap netral-pun, tergopoh-gopoh menyatakan dirinya memihak dan mendukung salah satu calon presiden.

pilpres-ilustrasi

Jika koran mingguan the Economist menulis dengan singkat dukungannya, “In The Economist’s view Jokowi is the right choice for Indonesia,” maka the Jakarta Post menulis dengan lugas dan tegas, “Therefore the Post feels obligated to openly declare its endorsement of the candidacy of Joko “Jokowi” Widodo and Jusuf Kalla as president and vice president in the July 9 election.”

Entah kebetulan atau tidak, hari ini beberapa kawan saya yang selama ini diam, bersikap netral atau bahkan awalnya pingin golput, tiba tiba #AkhirnyaMilihJokowi. Dari sekedar berbalas salam 2 jari, berbagi kampanye kreatif Jokowi, hingga merubah foto profile, mereka mungkin setuju dengan ajakan Anies Baswedan untuk turun tangan. Terima kasih kawan, saya cuplik pernyataan Jakarta Post ini yang bisa mewakili sikap kita, “It is an endorsement we do not take lightly. But it is an endorsement we believe to be morally right.”

Apa sebenarnya yang memicu dua media berbahasa inggris itu memberikan dukungan pada Jokowi. Mungkin kutipan The Economist bisa memberikan gambaran dan alasan dibalik dukungan beberapa media besar,

Mr Prabowo has a tainted record on human rights, first in East Timor and then during the anti-Suharto protests. He is a master of money politics and has benefited from having friends who own television stations and newspapers. He bashes foreign investors. And he appears to want to turn back the clock on Indonesia’s democratisation.

Masa lalu Prabowo memang sangat kelam. Ia dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa selama era kepemimpinan Presiden Soeharto. Tapi tunggu dulu, bukan itu saja yang membuat media sekelas The Jakarta Post harus menentukan sikap non netral. “There is no such thing as being neutral when the stakes are so high,” begitu kalimat pertama dalam kolom editorialnya. The Jakarta Post percaya pada nilai-nilai universal, seperti values, pluralism, human rights, civil society and reformation, yang harus tetap dijaga oleh presiden yang akan datang. Lebih jauh, the Post menyatakan kegalauannya melihat polah tingkah Prabowo yang merangkul kelompok politk berjubah agama yang mengancam demokrasi

We are encouraged that one candidate has displayed a factual record of rejecting faith-based politics. At the same time we are horrified that the other affiliates himself with hard-line Islamic groups who would tear the secular nature of the country apart. Religious thugs who forward an intolerant agenda, running a campaign highlighting polarizing issues for short-term gain.

Singkatnya, pernyataan dukungan the Jakarta Post dan media besar lainnya dipicu oleh ancaman pada demokrasi. Tapi, ketika media-media itu berbondong-bondong menyatakan dukungan kepada Jokowi, saya justru melihat keterlibatan (baca: ke-tidak-netral-an) media dalam pertarungan antar dua kandidat ini merupakan ancaman yang lebih berbahaya pada pondasi demokrasi. Saya tidak bisa menutup mata pada fakta jenderal-jenderal dibelakang Jokowi yang berlumuran darah. Meski keterlibatan konglomerat hitam belum pernah secara langsung saya lihat, baca dan dengar. Saya tidak bisa memungkiri kemungkinan itu terjadi.

Dan kepada media-lah, fungsi kontrol publik itu bisa digantungkan. Karena media yang memiliki akses pada informasi dan mampu membawanya ke publik. Semoga saja, setelah Jokowi nantinya menang nanti, media-media besar itu kembali pada fungsi awalnya. Sebagai bagian dari kontrol publik terhadap pemerintahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *