Melawan Politisasi Agama

Though dual in character, the fundamentalist generally tends to be more of a ”homo politicus” than a ”homo religiosus” –  Bassam Tibi

religion_and_politics - Copy

Menjelang Pemilu legislatif, tidak tahan rasanya untuk tidak “bersuara”. Mungkin banyak yang tidak setuju dengan argumen ditulisan ini. Tapi disisi lain, saya yakin, tidak sedikit juga yang sepakat.

Saya dengan tegas melawan segala bentuk politisasi agama yang dimainkan oleh para calon anggota legislatif (caleg). Sudah saatnya kita bangun dari ilusi bahwa para caleg, yang menjual agama sebagai dagangan politiknya itu, adalah orang yang tepat untuk mengatasi permasalahan bangsa. Sudah saatnya kita membatasi peran caleg yang memakai kedok agama, apapun agamanya, apapun partainya.

Politik dalam praktek yang sebenarnya adalah tentang perebutan dan pembagian kekuasaan. Partai politik oleh para caleg itu dianggap sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan. Karena pemilihan umum adalah bagian dari “arena resmi” perebutan kekuasaan, maka amunisi para caleg dan partai politiknya seperti konsep, ide, dan simbol menjadi penting untuk menarik simpati pendukung. Tujuannya, tidak lain demi mendapatkan tiket masuk ke parlemen (kekuasaan).

Konsep, ide dan simbol inilah yang kemudian dimainkan dan dikomunikasikan oleh para caleg kepada publik. Tidak jarang, simbol yang dijadikan alat komunikasi politik adalah ajaran agama. Agama yang saya maksud disini bukan prinsip-prinsip universalnya yang berlaku disemua agama, seperti bersikap adil, jujur dan amanah. Melainkan ajaran agama yang bersifat spesifik dan hanya mengikat pada penganut agama tersebut.

Dengan membawa agama ke ranah politk, caleg mudah terjebak berbicara mengenai hal-hal yang normatif didepan publik, tapi pada saat yang bersamaan mengaburkan proses “abu-abu” dimana kue kekuasaan dibagi dan syahwat politik terpuaskan. Politik adalah soal siapa berkuasa atas siapa dan apa (benda/harta). Pada titik ini, tidak sedikit partai dan caleg tergelincir dengan mudah untuk menggunakan simbol agama sebagai pelicin jalan menuju kekuasaan atau sebaliknya sebagai alat menjatuhkan pihak lain. Karena agama adalah suci dan mewakili kebenaran, maka ketika caleg menggunakan simbol agama apalagi ayat kitab suci dalam kampanye mereka, seolah-olah mereka sedang mengatakan, “aku adalah bagian dari kesucian dan mewakili kebenaran itu, maka pilihlah aku.” Simbol adalah senjata yang ampuh bagi masyarakat transisional seperti Indonesia yang meski sudah berpendidikan tinggi, tapi masih percaya bahwa mobilisasi simbol-simbol agama ke ranah politik praktis secara otomatis dapat menyelesaikan seluruh permasalahan negeri tercinta ini; korupsi, ketidakadilan, kemiskinan, pendidikan, kesehatan bahkan hingga masalah kemacetan lalu lintas.

Bagi saya menjual agama untuk kepentingan politik seperti ini adalah sama dengan mempermainkan agama. Menurunkan derajat keagungan agama itu sendiri. Kenapa demikian? Saya sampaikan beberapa contoh saja.

Pertama, masih segar diingatan kita semua, akrobat politik yang dilakukan oleh segelintir anggota legislatif pada pemilihan presiden tahun 1999. Ketika itu, paska reformasi, ada dorongan yang kuat dari masyarakat untuk menjadikan Megawati sebagai presiden republik ini. Namun beberapa anggota DPR mencoba menggagalkan jalan Megawati menjadi presiden dengan melempar wacana mengharamkan perempuan untuk menjadi pemimpin. Pada titik ini, agama dijadikan alat politik sekedar untuk menjegal Megawati. Ayat-ayat kitab suci “dimainkan” sedemikian rupa oleh beberapa anggota dewan yang terhormat tidak saja untuk menggiring opini publik tapi juga opini para anggota legislatif yang lainnya. Terbukti Megawati gagal menjadi presiden melalui manuver cemerlang kelompok yang menamakan dirinya “poros tengah” gabungan dari beberapa partai berbasis agama. Megawati hanya menjadi wakilnya Gus Dur yang akhirnya terpilih menjadi presiden. Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Megawati kemudian menggantikan Gus Dur ditengah jalan. Dan para anggota legislatif yang dulu berteriak lantang mengharamkan perempuan menjadi presiden tiba-tiba menjadi amnesia. Pelajaran yang bisa kita petik adalah, politik itu temporer, sementara dan tergantung kondisi cuaca. Tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, kecuali kepentingan. Membawa agama yang suci untuk kepentingan politik golongan tertentu sama saja dengan mempermainkan kesucian agama. Maka, berhati-hatilah jika ada caleg yang mengatakan, “agama mengatakan ini dan itu, maka saya memperjuangkan ini dan itu.” Ya agama mengutamakan nilai-nilai universal yang perlu diperjuangkan. Memperbaiki sistem kesejahteraan sosial atau meningkatkan akses kesehatan kepada keluarga miskin misalnya. Tapi menurut saya, agama bukan alat yang tepat untuk membatasi peran perempuan dalam kepemimpinan, apalagi membatasi peran anggota masyarakat dari kelompok agama minoritas untuk menjadi pemimpin daerah yang kebetulan warganya berasal dari kelompok agama mayoritas.

Contoh kedua, masih segar juga diingatan kita, ketika seorang ketua partai dakwah ditangkap KPK dengan tuduhan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mempengaruhi kebijakan impor daging sapi. Apa yang terjadi? Buru-buru kader partai dakwah ini menuduh KPK dan negara terlibat konspirasi global dibawah pengaruh Yahudi. Meski tidak membawa ayat-ayat agama sebagaimana contoh kasus yang pertama diatas, terlihat jelas sentimen agama dibawa ke ranah politik oleh pengurus partai yang sedang terlanda musibah itu. Kesan yang ingin dibangun adalah; seolah-olah ada kekuatan besar/global persekongkolan Amerika dan Yahudi Israel yang menghancurkan partainya yang malang itu. Seolah-olah (sekali lagi seolah-olah), memanggil solidaritas umat islam untuk bangkit melawan konspirasi global yang bukan saja bertujuan menghancurkan partai tersebut tetapi juga menghancurkan agama islam. Sentimen beraroma agama seperti inilah salah satu faktor yang berkontribusi pada kusutnya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Lucunya, sebagian dari kita masih percaya tahayul bahwa Yahudi memang sedang berupaya menjerumuskan partai dakwah.

Ironisnya, perilaku politisasi ini tidak surut menjelang pemilu 2014 ini. Ada beberapa modus politisasi agama yang terpantau oleh Indonesian Conference on Religion and Peace. Misalnya, penggunaan fasilitas rumah ibadah sebagai lokasi kampanye, mencela kelompok agama lain dan menganggap kelompok/partainya sendiri yang paling benar (hate speech), dan menjanjikan penutupan rumah ibadah agama tertentu apabila caleg tersebut terpilih.

Berbagai contoh sederhana diatas menggambarkan bagaimana politisasi agama dapat merusak kesucian agama itu sendiri. Lalu, masihkah kita percaya dengan para caleg yang menggunakan agama sebagai alat meraih kekuasaan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *