Apa Kabar Pulau Ende

Pulau Ende 2

Beberapa tahun telah berlalu. Kangen rasanya saya dengan berita seputar perkembangan Pulau Ende. Pulau kecil di sisi timur Pulau Flores yang memikat hati dengan kecantikan alamnya itu. Apa kabarmu kini Pulau Ende?

Tidak sulit mencari informasi perkembangan Pulau Ende. Cukup dengan bantuan mbah google, semua informasi terkini bisa kita dapatkan. Wow, banyak hal baru rupanya yang terjadi. Beberapa diantaranya adalah kehadiran para pendamping pembangunan di Pulau Ende. Misalnya, pendampingan yang dilakukan oleh Gerakan Pencerah Nusantara.

Sejak tahun 2012, melalui Kantor Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Millenium Development Goals, 4 orang anak muda Pencerah Nusantara diterjunkan ke Pulau ini. Pencerah Nusantara adalah gerakan yang fokus utamanya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Para “pencerah nusantara”,  sebutan bagi para pendamping ini diharapkan dapat menjadi inisiator perubahan melalui kerja-kerja pendampingan pada komunitas yang membutuhkan. Sepintas mengenai apa dan siapa pencerah nusantara itu bisa melihat pada tautan ilustrasi ini.

Senang sekali rasanya membaca, mendengar dan melihat perkembangan Pulau Ende. Apalagi kawan-kawan Pencerah Nusantara Pulau Ende juga cukup rajin membagikan cerita kegiatan-kegiatan mereka melalui blog Pencerah Nusantara Pulau Ende dan akun facebook. Beberapa program yang mereka lakukan antara lain, kesehatan ibu dan anak, advokasi kawasan tanpa rokok dan pelayanan air bersih. Wow, air bersih? Menarik…. Mari kita bahas mengenai program air bersih ini.

Meski melalui internet bisa mendapatkan banyak informasi, tapi pada saat yang sama, info yang diperoleh juga terbatas tingkat kedalaman dan keakuratannya. Termasuk mengenai program air bersih ini paska tahun 2012, tahun terakhir saya bekerja di Provinsi NTT. Selain Pencerah Nusantara, saya juga mendengar ada program Air Minum dan Sanitasi di Pulau Ende yang didukung oleh Mercy Corps, sebuah lembaga nirlaba internasional. Namun seperti apa program lembaga ini, saya tidak begitu mengetahui detailnya. Yang ingin saya diskusikan dalam tulisan ini adalah program pelayanan air bersih yang diusulkan oleh masyarakat Pulau Ende dan difasilitasi oleh Pencerah Nusantara. Secara tidak sengaja, saya mendengarkan program itu dari penjelasan salah seorang anggotanya di sebuah tautan video youtube.

Dalam video itu, krisis air bersih disebutkan sebagai salah satu permasalahan utama di Pulau Ende. Saya kaget, krisis air bersih ternyata masih mendominasi diskursus pembangunan di Pulau Ende, meskipun Pulau ini sudah didaulat sebagai pulau ribuan Bak Penampung Air Hujan (PAH). Pada menit 12.30, narasi di video menceritakan bahwa, “meski dikelilingi lautan, air menjadi barang mahal disini, ” lengkap dengan ilustrasi perempuan dan anak-anak yang menimba air di sumur komunal dan membawa ke rumah masing-masing dengan jerigen jerigen kecil. “Untuk mendapatkan air, warga harus berjalan jauh menuju sumur,” lanjut narator dalam video dokumenter itu.

Fakta bahwa sebagian besar sumur-sumur di Pulau Ende adalah air payau bukan hal baru, yang tidak terekspos mungkin adalah fakta bahwa berdasarkan studi Dinas Kesehatan di Tahun 2007, sumur-sumur itupun telah terkontaminasi bakteri e. coli, bakteri penyebab penyakit diare. Tentu sangat berbahaya apabila dikonsumsi tanpa diolah terlebih dahulu. Apalagi umumnya masyarakat di Pulau Ende terbiasa memasak setengah matang air payau itu sebelum digunakan untuk minum. “Kalau dimasak mendidih, airnya terasa asin dan tidak enak untuk ngopi,” begitu kata Junaidi, Kepala Desa Ekoreko ketika saya saya menginap dirumah beliau sekitar Tahun 2008 lalu.

Kembali pada program air bersih di Pulau Ende ini, Pada menit 14.18, tautan video diatas, sarana air bersih yang diusulkan masyarakat Pulau Ende adalah sistem yang menggunakan sumber air di salah satu desa yang debitnya cukup.  Saya menduga sistem yang diusulkan adalah sistem perpipaan sentralistik semacam jaringan perpipaan milik PDAM di kota-kota besar. Dugaan saya tepat, narator dalam video itu menegaskan, “jika program terwujud maka air bersih akan mengalir ke rumah-rumah warga.” Namun sudah tepatkah usulan itu dengan konteks lokal? Saya pernah menuliskan opsi-opsi pelayanan air bersih/minum untuk pulau kecil semacam Pulau Ende. Bagi saya, jaringan perpipaan bukanlah solusi yang tepat untuk pulau kecil seperti Pulau Ende. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut

Pertama, secara teknis apakah debit air yang disebutkan itu memang mencukupi untuk seluruh penduduk di Pulau Ende? Sebagai ilustrasi sederhana, anggap saja penduduk Pulau jumlahnya 8.800 jiwa. Penggunaan air per hari direncanakan sesuai standar WHO yang sekitar 50 liter/orang. Berarti dalam satu hari dibutuhkan 440.000 liter atau 440 meter kubik air untuk mensuplai seluruh penduduk Pulau Ende. Satu tangki atau reservoir dengan dimensi 10 meter panjang, 10 meter lebar dan 4.4 meter tingginya dibutuhkan untuk menampung air agar dapat terbagi secara rata kepada 8.800 jiwa penduduk Pulau Ende. Dengan kata lain, sumber air yang tersedia harus memiliki debit tidak kurang dari 5 liter/detik agar cukup untuk seluruh Penduduk Pulau Ende. Sayangnya saya tidak mempunyai data dan informasi akurat tentang sumber air yang dianggap “cukup” ini. Saya juga tidak ingin mengira-ngira kalau pernyataan bahwa debit air yang disebut cukup itu adalah salah. Jadi saya anggap secara teknis sumber air itu telah diteliti dan dinyatakan layak baik kuantitas maupun kualitasnya. Oh ya, tidak ada informasi yang jelas apakah sumber air yang dimaksud itu adalah mata air, sumur dangkal atau sumur dalam.

Kedua, masih hal teknis. Air dapat didistribusikan melalui pipa jika ada “tenaga” yang mengalirkannya dari sumber ke kran-kran di rumah penduduk. Kalau sumber airnya adalah mata air (springs) yang umumnya terletak di ketinggian, maka air bisa dialirkan dengan gravitasi kerumah penduduk yang lokasinya di dataran rendah. Solusi ini sangat tepat dan murah. Saya sepakat! Tapi jika sumber air dimaksud adalah sumur air dangkal apalagi sumur air dalam, perlu dipikirkan teknik yang tepat untuk mengangkat air dan mendistribusikannya. Perlu keahlian, penentuan mesin pompa yang cocok, pemilihan model pelayanan, dan perencanaan teknik distribusi. Salah satu pertanyaan mendasar teknik distribusi adalah apakah air akan langsung dialirkan oleh pompa kerumah rumah warga atau ditampung pada reservoir untuk terlebih dahulu sebelum dialirkan kerumah-rumah? Pertanyaan lain, tipe reservoir apakah yang dipakai, ground reservoir atau elevated reservoir? Saya tidak ingin terlalu detail mengenai masalah teknik ini, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah konsekuensi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang terjadi dari setiap pilihan teknis ini. Kombinasi pilihan teknis mesin pompa, model pelayanan, dan teknik distribusi punya dampak yang berbeda-beda. Hal teknis lainnya yang perlu diperhatikan adalah kesinambungan suplai listrik. Apabila pompa menggunakan listrik PLN dan suplai listriknya masih seperti dulu (hanya malam hari), maka akan sangat berpengaruh pada kesinambungan pelayanan. Jangan remehkan dampak politik pada masyarakat apabila kesinambungan pelayanannya tidak stabil.

Ketiga, juga masih hal teknis. Perencanaan dan pembangunan jaringan perpipaan itu membutuhkan pendampingan tenaga ahli yang intens. Dari berbagai pengalaman pembangunan sarana perpipaan di NTT, salah satu poin krusial yang tidak boleh lengah adalah pendampingan tenaga teknis yang bukan saja secara teknik mumpuni, tapi secara sosial juga mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat. Apalagi jika proses pembangunan dilakukan dengan pendekatan berbasis masyarakat. Artinya dari perencanaan hingga pelaksanaan, semua dikelola oleh masyarakat, maka kehadiran pendamping menjadi sangat penting.

Keempat, berhubungan dengan point kedua diatas, yaitu terkait biaya operasional dan pemeliharaan. Penggunaan pompa tentunya memerlukan biaya karena menggunakan tenaga listrik, baik itu berasal dari PLN atau dari generator pembangkit listrik dengan bahan bakar solar. Sebagian besar kegagalan berfungsinya sarana penyediaan air minum di pedesaan adalah ketidakmampuan menjaga, merawat, memelihara dan mengoperasionalkan sarana itu, termasuk memastikan ketersediaan suplai listrik.

Kelima, faktor yang terpenting dari keberlanjutan sebuah sarana air minum adalah faktor non-teknis, seperti aspek pengelolaan, sosial, legalitas dan budaya. Sistem yang kompleks membutuhkan pengaturan kelembagaan pengelolaan yang rumit dan tidak sederhana. Pertanyaan yang harus diajukan adalah, seperti apakah struktur badan pengelolanya, dasar legalitasnya (peraturan desa, akte notaris atau Surat Keputusan Bupati), pengaturan iurannya, bagaimana kewajiban dan hak pelanggan/masyarakat, dan aturan main lainnya. Pengalaman saya, sistem penyediaan air minum perpipaan multi desa harus ditunjang sistem kelembagaan pengelolaan yang kuat. Apabila tidak maka bisa terjadi konflik yang mengakibatkan berhenti berfungsinya sarana perpipaan tersebut. Semoga hal ini sudah dipikirkan baik-baik sebelum opsi perpipaan sambungan rumah dipilih.

Sebenarnya masih banyak hal lain yang harus diperhatikan, seperti faktor “willingness to pay” dan “ability to pay”. Tapi tulisan ini tidak ingin berpretensi buruk pada sarana perpipaan yang diusulkan masyarakat Pulau Ende. Masyarakat berhak memilih opsi apa saja, asalkan opsi itu bisa berkelanjutan. Jika tidak, maka sarana yang terbangun akan mubazir. Dana ratusan juta, tenaga, dan pikiran terbuang percuma. Ada ilustrasi yang menarik dan (semoga) lebih mudah untuk menganalogikan cara memilih sistem sarana air minum apa yang tepat bagi masyarakat. Kira-kira ilustrasi itu seperti ini:

Coba anda tawarkan bantuan alat transportasi kepada seseorang dengan memberikan pilihan kepadanya antara mobil kijang innova atau sepeda motor trail. Bagi sebagian besar dari kita, diberikan opsi seperti itu tentu lebih memilih kijang inova. Kenapa? Mobil jauh lebih tinggi tingkat kenyamanannya. Sementara kalau pakai sepeda motor pasti bisa basah kuyup apabila kehujanan. Tapi coba tanyakan, konteks orang yang akan diberikan bantuan itu. Dimana ia tinggal, bagaimana kondisi ekonomi dan geografi lokasi tempat tinggalnya. Mobil inova tidak akan cocok untuk daerah berbukit yang tidak ada jalan aspal nya. Apalagi tempat itu tidak ada stasiun pengisian bahan bakar. Mungkin motor trail jauh lebih bermanfaat. Bisa dibuat menjelajahi segala medan, irit bahan bakar (daripada mobil), dan lebih praktis.

Dengan ilustrasi ini, di Pulau Ende, mungkin bak penampung air hujan jauh lebih bermanfaat, praktis dan berkelanjutan daripada sistem perpipaan. Meski saya juga sadar, penampung air hujan banyak kelemahannya. Tapi setidaknya dengan kondisi alam, juga sosial dan ekonomi masyarakatnya opsi penampungan air hujan lebih tepat guna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *