Apa yang bisa dibanggakan dari seorang lelaki jika bukan tanggung jawabnya. Mungkin itu yang harus ditunjukkan Saili, petani sederhana dari sebuah desa yang asri di pelosok Pulau Upolu, Samoa. Saili terlahir sebagai manusia bertubuh kerdil, anak seorang Matai, mantan penghulu adat yang telah lama meninggal. Vaaiga, istri Saili, seorang perempuan fa’amatai, golongan keluarga ningrat di Samoa. Vaagia memiliki masa lalu yang suram karena hamil diluar nikah. Ia dibuang dari tanah leluhurnya dan menikahi Saili. Litia, anak Vaaiga, tumbuh menjadi remaja perempuan ayu yang malu mengakui Saili sebagai orang tua. Meskipun demikian, Saili tetap menyayangi Litia layaknya anak sendiri. Kehormatan, keberanian, penebusan, dan pengampunan adalah bagian dari drama yang harus dilakoni oleh Saili, Vaaiga dan Litia.
Foto: Vaaiga dengan latar landskap desa yang eksotik (sumber http://www.dailytelegraph.com.au)
Cerita kemudian berpusar pada tiga figur ini. Saili kerap dicemooh dan diremehkan oleh masyarakat. Berulang kali ia harus bertengkar dengan orang yang menanam ketela disekitar makam orang tuanya. Untuk membuktikan bahwa ia adalah orang bernyali, Saili memilih menjadi penjaga malam sebuah toko kelontong. Tapi Vaaiga sadar tak mungkin suaminya yang bertubuh kerdil mampu menghalau maling. Maka, selain radio transistor butut, tikar pandan, obat nyamuk bakar, dan cangkir kaleng, Vaaiga menaruh beberapa butir batu sedekat mungkin dari jangkauan tangan Saili. “Jaga-jaga, kalau engkau mendapatkan masalah,” begitu kata Vaaiga pada suatu malam.
Konflik dimulai ketika Vaaiga harus berurusan dengan Poto, kakak laki-lakinya yang meminta ia meninggalkan Saili dan kembali pada keluarga besarnya. Poto mengaku menderita sakit aneh yang tak kunjung sembuh. Ia percaya, penyakitnya tidak akan sembuh kecuali Vaaiga kembali bersamanya untuk memulihkan “luka” lama. Meski Vaaiga selalu menolak ajakan Poto, Saili tidak pernah berupaya menahan Vaaiga untuk pergi. “Jika aku mati, kubur aku didepan rumah ini,” pinta Vaaiga pada Saili.
Litia yang ayu mencuri perhatian para pemuda desa yang berlatih bola lonjong di lapangan setiap sore. Salah satunya adalah Sio. Suatu malam Litia tak pulang ke rumah. Khawatir kebodohan masa lalunya terulang, Vaaiga menasihati Litia, “umurmu baru 17 tahun, tidak perlu terburu-buru pada sesuatu yang belum dapat kamu pahami.” Kekhawatiran Vaaiga pada akhirnya terbukti. Litia hamil dan Sio bersimpuh didepan rumah mereka melakukan ifoga, ritual permintaan maaf dan pengampunan.
Foto: Litia (sumber http://www.theaustralian.com.au/)
Untuk mengembalikan kebanggaan almarhum ayahnya, beberapa kali Saili menemui Tagaloa, pemimpin tertinggi di desa. Tagaloa meragukan kemampuan Saili mewarisi status tulafae atau sang penutur yang memegang to’oto’o dan fue. Keduanya semacam tongkat dan cambuk pelambang kepemimpinan oleh masyarakat Samoa. Dalam tradisi masyarakat Samoa, posisi tulafale sangat sakral mengingat tradisi lisan yang mengakar. Para tulafale harus mampu menguasai seni bertutur, menyampaikan pesan melalui bahasa yang halus, berima dibalut kiasan. Tapi diluar kemampuan bertutur, Tagaloa mengingatkan ada hal yang lebih penting, “menjadi penghulu adat harus dapat menyingkap jiwa dan kelemahan diri sendiri tanpa takut dan malu, agar ia dapat berbicara dan bertanya mengenai apapun.” Lalu Tagaloa berdiri, melorotkan sarungnya, menunjukkan tubuhnya yang penuh kerutan tanpa selembar benangpun, sambil bertanya, “beranikah kamu?”
Kisah Saili cukup manis dikemas meski minus kejutan jika dibandingkan dengan film produksi Hollywood. Sebagai sebuah film perdana dari Samoa, sang penutur patut diapresiasi karena masuk dalam daftar tayang beberapa festival film di dunia. Tusi Tamasese sutradara film ini satu dari sedikit sineas asal Samoa yang berhasil mencuri perhatian dunia. Pemeran utamanya pun bukan artis profesional. Salah satu kekuatan utama film ini ada pada karakter Saili yang mampu dibawakan secara utuh oleh Fa’afiaula Sagote, Lihat! Guratan wajah dan tatapan mata Fa’afiaula saja sudah bercerita banyak, tentang ketertindasan, ketidakadilan, dan cemoohan. Tidak salah sebuah review film menobatkan Fa’afiula memiliki a tremendously soulful-eyed.
Film ini mengangkat tema kehormatan dan keberanian Saili, penebusan dosa Vaaiga, dan pengampunan Litia. Selain ilustrasi nilai dan budaya masyarakat Samoa yang ditampilkan secara apik, keindahan alam Samoa pun tak luput dari tangkapan kamera. Landskap bukit yang hijau nan cantik dan suara hujan di awal film misalnya, mengingatkan saya tentang keindahan desa-desa di Pulau Flores dan Alor. Sementara arsitektur rumah dan balai pertemuan hampir mirip dengan lopo rumah adat di Pulau Timor.
Pada beberapa scene, saya merasakan sensasi deja vu. Saya seperti pernah melihat landskap eksotik itu, seperti pernah mencium bau hujan yang membasahi tanahnya dan seperti pernah merasakan kehangatan mereka yang sederhana. Jujur, saya jatuh cinta dengan film ini… entah kenapa.