Seminggu yang lalu, saya tergugah dengan sebuah tulisan di Harian Pos Kupang. “NTT Ketinggalan 250 Tahun Untuk Pembangunan Sanitasi,” judul artikel dalam kolom opini pada 14 Juni 2013 lalu. Penulisnya mengingatkan jika pembangunan sektor sanitasi dilakukan melalui pendekatan yang “itu-itu” saja atau business as usual maka impian agar seluruh masyarakat Kabupaten Kupang bebas dari perilaku buang air besar sembarangan baru dapat tercapai pada Tahun 2225.
Sebenarnya data yang dipaparkan tidaklah terlalu mengejutkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di Provinsi Nusa NTT pada Tahun 2011 adalah 23,82%, jauh dibawah rata-rata nasional yang mencapai 55,60% pada tahun yang sama.
Sebagai pembanding lain, Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) oleh Kementerian Kesehatan pada Tahun 2010 menyimpulkan 1 dari 5 rumah tangga di Provinsi NTT tidak memilki akses pada jamban pribadi, jamban bersama maupun jamban umum. Jika tidak memiliki akses pada jamban, lalu dimanakah anggota rumah tangga itu melakukan aktivitas buang air besar? Jawabannya adalah; ladang, kebun, sungai, dan pantai.
Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia menyebutkan Indonesia mengalami kerugian ekonomi sebesar Rp. 265,000 perkapita per tahun atau setara dengan 58 trilyun rupiah per tahun akibat kondisi sanitasi yang buruk. Jika dihitung berdasarkan proporsi penduduk NTT, maka kerugian ekonomi di NTT mencapai 1,2 trilyun rupiah per tahunnya. Fakta-fakta tersebut seharusnya memicu kita untuk berbenah diri mengejar ketertinggalan dalam pembangunan sanitasi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, apa yang sudah dan perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan.
Sejak beberapa tahun lalu, Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) mulai dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten. Pokja AMPL merupakan kumpulan berbagai pemangku kepentingan yang didalamnya tidak hanya terdiri dari instansi pemerintah terkait, namun juga perwakilan LSM lokal maupun lembaga internasional, akademisi, pihak swasta, wartawan, dan pemerhati AMPL atau individu yang memiliki komitmen terhadap isu Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Berbagai program pemerintah yang terkait juga masuk didalam payung koordinasi Pokja AMPL, seperti program nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (pamsimas) dan Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP).
Pokja AMPL menjadi motor penggerak dengan memperkuat proses koordinasi antar pelaku, perencanaan yang partisipatif dan advokasi kebijakan. Di Kabupaten Sumba Timur misalnya, upaya percepatan pembangunan AMPL diperkuat melalui Peraturan Daerah, sedangkan Kabupaten Alor dalam bentuk Peraturan Bupati. Proses penyusunan kebijakan yang serupa juga dilakukan oleh Pokja AMPL Kabupaten Sikka dan Ende. Sementara Kabupaten TTS dan TTU menerbitkan Surat Instruksi Bupati untuk memberikan payung hukum bagi pelaksanaan pembangunan AMPL, khususnya sanitasi. Pada tingkat provinsi, kebijakan pembangunan air minum dan sanitasi telah dituangkan dalam bentuk Peraturan Gubernur No. 10 Tahun 2012.
Namum upaya penguatan kebijakan itu belumlah cukup, tanpa adanya aksi nyata dilapangan dalam bentuk pelaksanaan program, kegiatan dan alokasi anggaran yang proporsional. Setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan sektor penyehatan lingkungan atau sanitasi di NTT. Pertama, pentingnya komitmen politik pimpinan daerah untuk memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan. Selama ini urusan sanitasi dianggap bukan isu seksi dan menjadi prioritas kesekian oleh para pimpinan. Hal itu dibuktikan dengan rendahnya belanja pembangunan sektor sanitasi di Provinsi dan kabupaten di NTT. Kajian Belanja Publik di beberapa kabupaten menggambarkan rendahnya proporsi belanja sektor Sanitasi yang berkisar antara 0,02% hingga 0,1% dari total APBD.
Kedua, perubahan paradigma pembangunan sanitasi harus dirubah, dari pendekatan menyediakan sarana sanitasi untuk masyarakat, menjadi pola memicu perubahan perilaku dan kemandirian masyarakat. Pendekatan ini dikenal dengan sebutan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Dengan pola ini, selain menekankan pada perubahan perilaku untuk tidak buang air besar sembarangan, infrastruktur jamban keluarga juga harus disediakan secara swadaya oleh masyarakat. Pokja AMPL NTT memperkirakan kebutuhan dana sekitar 100 milyar rupiah untuk melakukan pemicuan STBM secara bertahap dan bekesinambungan diseluruh wilayah NTT. Nilai yang tidak seberapa apabila dibandingkan dengan potensi kerugian ekonomi yang sebesar 1,2 trilyun.
Pembangunan sanitasi di Provinsi NTT bukan saja tertinggal selama 250 tahun, namun juga berpotensi merugikan secara ekonomi. Perubahan radikal hanya bisa dilakukan oleh pimpinan daerah yang melihat sanitasi sebagai isu yang penting dan strategis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Perubahan perilaku memang tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat, namun dengan komitmen pimpinan daerah yang kuat dan pendekatan yang tepat, perubahan bukan tidak mungkin dapat dicapai.