Meskipun beberapa kali saya pernah mengikuti proses pembuatan video dokumenter tentang air minum dan sanitasi, field trip mendampingi syuting short video di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur kali ini sangat menantang dan mengasyikkan. Tugas yang diemban mbak Karima Anjani dan mas Gianrigo Marletta, tim yang ditugaskan untuk melakukan syuting ini, cukup berat. Mereka harus meliput “hasil” kegiatan kerjasama organisasi tempat saya bekerja dengan Pemeritah Daerah untuk dirangkum dalam sebuah video yang hanya berdurasi 2-3 menitan.
Hasil? Wah…satu kata itu sangat diperdebatkan. Karena pada satu sisi kata “hasil” bisa diartikan sebagai produk langsung dari suatu proses, disisi lain, “hasil” juga berarti perubahan. Misalnya, suatu kegiatan pelatihan jurnalistik selama 5 hari untuk calon wartawan maka “hasil” kegiatan pelatihan jurnalistik adalah 20 orang peserta yang berhasil menyelesaikan pelatihan, titik. Permasalahannya, apakah semua 20 orang peserta itu, setelah mengikuti pelatihan yang lamanya 5 hari, otomatis mampu menulis berita yang baik? Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan kerjasama organisasi tempat saya bekerja dengan salah satu Pemeritah Daerah di NTT ini. Kegiatan kerjasama kami lebih fokus pada peningkatan kapasitas seperti pelatihan, lokakarya, penyusunan perencanaan dan sebagainya. Kalau ditanya mengenai “hasil”, ya harusnya dijawab bahwa kegiatan kerjasama ini menghasilkan sekian ratus orang yang telah dilatih, sekian puluh lokakarya telah dilaksanakan dan sekian dokumen perencanaan yang telah selesai disusun. Tapi apakah itu “hasil” yang ingin di tangkap dan disajikan dalam video ini? Tentu tidak, karena “hasil” yang dimaksud sebenarnya adalah dampak atau perubahan yang terjadi setelah kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan, yaitu angka kematian ibu dan bayi menurun, angka kematian anak akibat diare menurun, dan sebagainya.
Lalu, bagaimana mengukur dampak penurunan angka diare dari satu atau dua kegiatan pelatihan. Pertanyaan kritis ini perlu diajukan, karena biasanya logika yang digunakan sangat sederhana. Sebagai contoh saja, kegiatan pelatihan cuci tangan pakai sabun untuk 20 orang guru dari 20 SD bertujuan untuk memicu perubahan perilaku ratusan murid di 20 sekolah tersebut dan pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan angka diare. Pertanyaannya, apakah setelah pelatihan, 20 orang guru itu secara otomatis melaksanakan kampanye cuci tangan pakai sabun kepada murid-murid disekolahnya masing-masing. Permasalahan menjadi kompleks, karena kampanye cuci tangan harus juga disertai penyediaan sarana cuci tangan, air yang mengalir, sabun dan sebagainya. Tidak semua sekolah, apalagi sekolah-sekolah di daerah yang sulit air memiliki kemampuan dan kemauan untuk mewujudkan fasilitas cuci tangan bagi murid-muridnya. Jika saja satu dari 20 orang guru itu punya komitmen untuk mengembangkan program cuci tangan pakai sabun disekolahnya. Pertanyaan lanjutan yang harus diajukan adalah, apakah semua murid SD itu mengikuti anjuran gurunya dengan mencuci tangan mereka setiap sebelum makan dan setelah buang air besar. Lalu apakah murid-murid itu hanya melakukan cuci tangan pakai sabun disekolah, bagaimana perilaku mereka di rumahnya masing-masing? Untuk dapat menurunkan angka kejadian diare pada anak anak, tentu tidak cukup cuci tangan pakai sabun saja dan tentunya tidak cukup pula melakukan cuci tangan di sekolah saja. Buang air besar di jamban atau kakus, mencuci tangan sebelum mempersiapkan makanan dan makan, meminum air dari sumber air yang aman, dan merebus air sebelum diminum adalah sedikit dari banyak perilaku hidup bersih dan sehat lainnya yang perlu juga diperhatikan. Singkatnya, dengan kegiatan yang terbatas pada pelatihan, lokakarya dan penyusunan perencanaan, kita hanya bisa mengatakan telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung pada penurunan angka kejadian diare. Saya harus menyatakan ini secara terbuka untuk menghindari klaim yang berlebihan, seolah-olah perubahan dicapai dengan satu atau dua kegiatan yang dilakukan satu atau dua aktor saja. Kenyataan dilapangan tentu lebih kompleks, karena banyak kegiatan yang dilakukan oleh banyak aktor, dan dampak menurunnya angka diare tentu akumulasi dari berbagai intervensi semua aktor tersebut.
Foto 1: wawancara dengan pengusaha sanitasi
Berburu Cerita
Lupakan pertanyaan kritis tadi dan kembali pada pembuatan video ini. Saya membantu Mbak Karima dan Mas Gianrigo memburu cerita dari para petugas kesehatan, tokoh masyarakat semacam kepala desa atau pemuka agama, pejabat pemerintah seperti kepala dinas atau kepala bagian di Bappeda misalnya, kepala sekolah, guru dan murid-murid sekolah. Cerita-cerita mereka itu dirangkum, dipilah, dipilih yang sesuai, disusun ulang sedemikian rupa, sehingga gambar dan suara menampilkan bangunan cerita baru atau sebut saja narasi. Jika dilihat pada video in Indonesia, communities rally to prevent disease hanya ada 3 orang yang ditampilkan wawancaranya, Mama Lory Kepala SD GMIT 2 Soe, salah seorang murid SD GMIT 2 Soe, dan Om Marthen, salah satu pengusaha sanitasi yang boleh dikatakan cukup berhasil. Pada kenyataannya, tidak kurang dari 8 orang yang diambil gambarnya dan diwawancarai.
Saya heran dalam video ini tidak ditampilkan satupun perwakilan pemerintah. Harusnya, minimal ada perwakilan Dinas Kesehatan atau Puskesmas. Meskipun ada wawancara dengan Mama Lory, kepala sekolah yang juga tentunya PNS, tapi itu tidak mampu memperlihatkan dimensi kebijakan pemerintah daerah yang lebih makro. Lalu dimana juga hasil wawancara dengan kepala desa dan tokoh masyarakat. Padahal, mungkin saja pernyataan-pernyataan mereka ada yang menarik dan bisa menguatkan pesan yang ingin disampaikan. Misalnya tentang partisipasi dan antusiasme masyarakat yang cukup tinggi. Tapi ah, mungkin sudut pandang mereka kurang sesuai dengan narasi yang ingin ditampilkan.
Foto 2: Murid mengantri di Jamban Sekolah
Membangun Narasi
Pesan-pesan apa yang ingin disampaikan? Gambar apa yang hendak diperlihatkan? Suara siapa yang menggugah untuk didengar? Adalah bagian dari bangunan narasi. Seperti pada umumnya video dokumenter, narasi video ini dimulai dengan memperlihatkan permasalahan yang ada. Kemiskinan, tingginya angka kematian bayi, rendahnya pemahaman tentang hidup bersih dan sehat, dan akses pada air dan sanitasi yang tidak memadai, adalah beberapa permasalahan yang disebutkan dalam awal video. Permasalahan tanpa solusi seperti makan sayur tanpa garam. Begitupun narasi yang dikembangkan. Maka frame-frame video kemudian memperlihatkan kepala sekolah yang penuh semangat, anak sekolah yang sadar tentang pentingnya cuci tangan, pelayanan kesehatan di puskesmas yang berjalan dengan baik dan seorang penjual jamban yang usahanya tidak hanya meningkatkan pendapatan ekonomi kelompok mereka tapi juga membantu menyelesaikan permasalahan sanitasi. Klop sudah.. 🙂
Menjual Harapan
Kenapa menjual harapan? Mungkin karena saya merasa video ini memang menjual harapan bahwa perubahan bisa dilakukan. Kita semua tahu, siapa yang memproduksi video ini, tapi tidak semua orang tahu kepada siapa video ini sebenarnya diperuntukkan. Organisasi non profit yang bekerja untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat membutuhkan dana untuk melakukan kerja-kerja itu. Dan video ini ingin menegaskan bahwa perubahan bisa dicapai, tentunya, melalui partisipasi para donaturnya.
Check the video
One thought on “Berburu Cerita, Membangun Narasi, Menjual Harapan”