Kembali Ke Bima

Akhirnya, setelah hampir 8 tahun, kaki ini kembali dapat menjejak tanah Pulau Sumbawa. Ya, tanggal 14 hingga 15 Desember lalu, selain untuk kepentingan pekerjaan, saya dapat berkesempatan mengunjungi Kota Bima. Terakhir kalinya saya berkunjung ke Kota yang berpenduduk sekitar 142.000 jiwa ini, pada Tahun 2004 lalu. Ketika itu saya masih bekerja dengan sebuah LSM lokal di Bali dan sepanjang tahun 2003 hingga 2004 sempat berulang kali berkunjung ke Kota Bima.

Kota Bima 

Kota Bima saat ini sungguh jauh berbeda kondisinya dengan Kota Bima di Tahun 2003. Bandara Sultan Muhammad Salahudin, terlihat jauh lebih megah dengan arsitekturnya yang khas. Sepanjang perjalanan dari Bandara ke Kota Bima, tampak banyak keramaian di sisi kiri dan kanan jalan. Kalau dulu, saya hanya melihat penjaja buah srikaya, kini yang berjualan dipinggir jalan bermacam-macam. Ada penjual jagung bakar, penjual minuman kelapa muda, hingga warung lalapan. Bahkan di beberapa titik saya melihat ada rumah makan, café, dan – yang ini membuat saya terperangah – karaoke.

Pembangunan infrastruktur di Kota Bima menurut saya maju pesat. Pertumbuhan ekonomi meningkat, dengan beberapa indikator sederhana. Jalan-jalan utama bahkan jalan kecil yang masuk ke kampung-kampung sekarang sudah beraspal mulus. Indikator lainnya yang kasat mata adalah bertumbuhnya sektor jasa dan perdagangan. Bukankah rumah makan dan toko-toko yang ramai itu menandakan bergairahnya perputaran uang di Kota ini. Bukankah mobil dan motor yang berlalu lalang itu berarti masyarakat di Kota Bima berkecukupan.

Bahkan Kota Bima dikenal sebagai Kota yang memiliki pertumbuhan kendaraan bermotor roda dua tertinggi di Indonesia. “Setiap keluarga di Kota Bima ini, minimal punya satu kendaraan bermotor roda dua,” ujar Hamid, seorang supir taxi bandara yang mengantar saya ke hotel. Benar kata Hamid, dahulu saya dengan mudah menemukan ojek untuk mengantar saya kemanapun saya pergi. Kini jarang sekali tukang ojek yang terlihat. Hanya saja yang tidak berubah sejak dulu adalah rendahnya ketaatan dalam berkendara motor. Hampir semua lampu pengatur persimpangan dilanggar, hehehe….

Saya tidak sempat mengunjungi Museum Istana Raja Bima, “percuma saja pak, banyak barang-barang kerajaan yang rusak dan hilang,” kata Hamid melarang saya. Dari luar, istana itu tidak banyak berubah. Muram kurang terawat dan kehilangan kharismanya. Sangat disayangkan, padahal kalau saja pemerintah mau memperhatikannya, bukan tidak mungkin istana itu menjadi salah satu daya tarik pariwisata.

Malam harinya, saya diajak nongkrong dan ngopi lesehan. Tempatnya unik, karena warung-warung kopi dadakan itu berjejer ditrotoar pinggiran jalan yang bersisian langsung dengan bibir pantai. Suasana di tempat ini memang sejuk karena disiram semilir angin laut. Sesekali, saya dihibur dengan aksi para pembalap jalanan. Membuat obrolan malam itu menjadi menyenangkan.

Kota Bima dan kota-kota lainnya di Indonesia memang sedang bergegas. Bergegas membangun disegala sektor. Tapi perbincangan umum ketika saya di Bima, tidak pernah lepas dari perbincangan situasi politik local. Ternyata masalahnya hampir sama, perebutan jabatan kepala daerah yang berlarut-larut. Bupati terpilih terus digoyang dengan berbagai isu. Lawan politiknya tidak akan pernah berhenti menyerang hingga sang Bupati turun dan melepaskan jabatannya. Hampir setiap hari terjadi demonstrasi didepan kantor pemerintahan dan dewan perwakilan rakyat daerah. “Disini, demonstrasi itu sama dengan reformasi. Reformasi itu diasosiasikan dengan kehidupan lebih baik,” ungkap salah seorang pejabat pemerintah di Bima sambil berseloroh. Ah.. politik lagi, politik lagi. Lebih baik menikmati keindahan dan keunikan Kota ini daripada bicara politik.

2 thoughts on “Kembali Ke Bima

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *