Bak Penampungan Air Hujan,

Pilihan yang tidak Populer Namun Sangat Bermanfaat

Berbagi Pengalaman Replikasi Pola Pembangunan Bak Penampung Air Hujan di Kabupaten Alor, Propinsi Nusa Tenggara Timur 

Selama ini, Bak Penampung Air Hujan atau yang biasa disingkat dengan sebutan Bak PAH dipandang sebagai pilihan teknologi penyediaan air minum yang tidak “seksi” atau tidak populer dibandingkan pilihan teknologi lainnya, misalnya apabila dibandingkan dengan sarana air minum sistem perpipaan. Hal ini timbul karena beberapa alasan, antara lain; penampung air hujan memiliki keterbatasan kapasitas tampungan sehingga tidak mencukupi seluruh kebutuhan rumah tangga pada saat puncak musim kemarau. Selain itu, terdapat juga pemikiran bahwa air dalam bak PAH tidak higienis dan dari sisi teknis konstruksi, bak penampung hujan dianggap tidak dapat bertahan lama. Tidak heran, apabila masyarakat pedesaan lebih senang memilih opsi teknologi lainnya. Namun di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pandangan itu berangsur-angsur berubah. Terbukti dengan banyaknya permintaan masyarakat untuk membangun Bak Penampung Air Hujan (PAH). Ingin tahu lebih lanjut mengenai bagaimana hal tersebut bisa terjadi, berikut ini adalah ulasannya; 

Berawal dari Pengembangan Model 
Sejak tahun 2006 hingga 2008, Pemerintah Kabupaten Alor bekerjasama dengan UNICEF memperkenalkan Bak PAH di lokasi desa yang kondisinya sulit untuk mendapatkan air minum. Seperti desa-desa yang pemukimannya terletak diketinggian, dimana pada lokasi tersebut tidak terdapat sumber air dari sumur atau lokasi yang jarak mata airnya lebih dari satu kilometer. Misalnya Pembangunan PAH Desa Kopidil Kecamatan Kabola dan Desa Otvai di Kecamatan Alor Barat Laut. Selain itu, PAH juga diperkenalkan di daerah pesisir dan pulau kecil, dimana air sumurnya tidak dapat dikonsumsi karena tingkat salinitas dan pencemaran bakteri e-coli yang tinggi, seperti Desa Maru, Pura Selatan, Pura Utara, Pura Barat dan Pura Timur yang semuanya terletak di Kecamatan Pulau Pura. Melalui proses sosialisasi yang intensif, masyarakat di lokasi-lokasi rintisan tersebut diperkenalkan beberapa keunggulan dan keterbatasan bak PAH, seperti proses pembangunan yang sederhana serta cepat, air hujan yang aman untuk dikonsumsi, juga penggunaan air yang hanya diperuntukkan kebutuhan minum dan memasak. Selain itu masyarakat dilatih untuk dapat melakukan sendiri pembangunan PAH tersebut. Partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan bak PAH dapat dilihat dari kesediaan mereka untuk mengumpulkan material lokal (in kind) seperti pasir, kerikil dan batu atau boleh dikatakan setidaknya 30% dari total biaya pembangunan PAH merupakan kontribusi dan partisipasi masyarakat.  Pola penyediaan air dengan bak PAH ini merupakan pola individual, dimana setiap satu rumah tangga diberikan satu unit PAH dengan kapasitas 4000 liter. Berdasarkan perhitungan sederhana, selama musim kemarau, air dalam PAH cukup untuk minum dan memasak bagi satu rumah tangga dengan jumlah penghuni 4 sampai 5 orang. Secara teknis, dinding PAH adalah beton bertulang berbentuk silinder yang dicetak dengan menggunakan cetakan Fiberglas. Satu unit bak PAH diselesaikan dalam jangka waktu dua hingga tiga hari. Berdasarkan pengalaman dilapangan, dengan 5 unit cetakan PAH, dalam satu bulan bisa terbangun 60 hingga 75 unit PAH, tergantung dari tingkat swadayamasyarakat dan ketersediaan material lokal. Komponen biaya material non-lokal untuk satu unit PAH sekitar 1,5 hingga 2 juta rupiah, yang digunakan untuk membeli 10 sak semen, 16 batang besi beton, talang air dan sebagainya. Sedangkan komponen material lokal, seperti pasir dan kerikil, serta tenaga kerja merupakan swadaya masyarakat murni, yang setara dengan Rp. 750.000 hingga Rp. 1.000.000.  

Melalui pendekatan tersebut, sejak tahun 2006 hingga 2008, Pemerintah Kabupaten Alor dengan dukungan UNICEF telah membangun tidak kurang dari 2.478 unit Bak Penampung Air Hujan di 14 desa. PAH yang tersebar di berbagai kecamatan tersebut dapat melayani 2.650 unit Rumah Tangga atau setidaknya 11.600 jiwa.  

alor-pah-1ajpg.jpg

 

Adopsi dan Replikasi
Melihat manfaat yang besar, tingkat keberhasilan yang tinggi dan efisiensi dalam pembangunannya, maka masyarakat di beberapa desa Kabupaten Alor mulai tertarik untuk mengadopsi dan mereplikasi penyediaan sarana air dengan bak PAH tersebut. Permintaan akan pembangunan Bak PAH bermunculan dalam setiap kegiatan musyawarah pembangunan tingkat kecamatan (MUSRENBANG Kecamatan). Salah satu desa yang beruntung dan berhasil melaksanakan pembangunan Bak PAH adalah Desa Lalafang di Kecamatan Pantar Timur. Pembangunan Bak PAH di desa itu disalurkan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan atau PNPM-MP. Desa Lalafang sendiri dipilih sebagai lokasi pelaksanaan program PNPM-MP ditahun 2009 setelah melalui proses seleksi yang ketat dan perencanaan yang partisipatif. “Masyarakat termotivasi untuk memilih bak PAH setelah melihat desa-desa tetangga yang telah lebih dahulu menikmatinya, seperti desa-desa di Pulau Pura yang berdekatan dengan Desa Lalafang ini,” demikian ujar Ibrahim Bolingsang, fasilitator teknis PNPM-MP Kecamatan Pantar Timur. Selain itu, di Desa Lalafang memang tidak memiliki sumber air yang layak untuk dikonsumsi. “Pada puncak musim kemarau, masyarakat Desa Lalafang mengkonsumsi air yang diambil dari batang pisang, sehingga kondisinya sangat memprihatinkan,” lanjut Ibrahim. Lebih jauh ia kemudian mengungkapkan beberapa alasan teknis kenapa masyarakat memilih Bak PAH, “proses konstruksinya sederhana sehingga mudah dikerjakan oleh masyarakat, ekonomis dan selain itu setiap rumah mendapatkan satu unit bak PAH.” Secara total terdapat 92 unit Bak PAH yang dibangun melalui dana PNPM di Desa Lalafang, dengan jumlah penerima manfaat sekitar 126 KK atau melayani 616 Jiwa. Mekanisme yang digunakannya pun tidak jauh berbeda, dimana masyarakat secPara swadaya menyediakan material local seperti batu, pasir dan kerikil, sementara dana bantuan digunakan untuk membeli material non-lokal semacam semen, besi beton dan sebagainya. Sementara itu, PNPM juga memfasilitasi masyarakat Desa Lalafang dengan menghubungi POKJA AMPL Kabupaten Alor untuk meminjam beberapa unit cetakan bak PAH. “sinergi dan koordinasi seperti inilah yang seharusnya dapat difasilitasi oleh POKJA AMPL,” ungkap Melkisedek Belly, S.Sos, M.Si, salah satu anggota POKJA AMPL Alor. Melki berharap POKJA AMPL dapat lebih berperan dalam memfasilitasi kebutuhan di masyarakat dengan menawarkan pendekatan yang sudah teruji efektif dan efesien dalam pelaksanaannya. Pembangunan Bak PAH di Desa Lalafang ini adalah bukti nyata proses adopsi dan replikasi yang berhasil dkembangkan di Kabupaten Alor. Setidaknya 37 desa di tahun 2010 telah dan akan menikmati manfaat bak PAH. Benar! Kini Bak PAH tidak dipandang sebelah mata lagi dan sudah menjadi pilihan yang seksi serta populer di Kabupaten Alor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *