Tulisan ini sengaja dibuat ditengah hiruk pikuk Piala Dunia 2010 yang berlangsung di Afrika Selatan. Ketika sebagian besar masyarakat Indonesia dapat menikmati melalui layar televisi, saya terpaksa gigit jari karena siaran Piala Dunia tidak bisa ditonton oleh mereka yang menggunakan parabola. Dan sialnya, saya termasuk pengguna parabola itu. Hiksss…
Keajaiban teknologi menyadarkan saya untuk dapat menikmati Piala Dunia dengan cara yang unik. Meskipun tidak dapat menyaksikan langsung pertandingan Argentia melawan Jerman yang berlangsung malam ini (4 Juli 2010) misalnya, postingan di fesbuk cukup jelas menggambarkan jalannya pertandingan tersebut atau bahkan perang urat saraf para pendukung kedua kesebelasan jauh sebelum pertandingan dimulai. Sekedar contoh saja, dua orang kawan berteriak, “Germany, I love you!” dan “Go Germany!” sebagai ungkapan dukungan bagi tim kesayangannya sebelum turun main. Atau perhatikan postingan rekan kerja di Depdagri pendukung Argentina berikut ini,”Berbahagialah Jerman karena akan dipulangkan oleh tim sehebat Argentina!” Postingan itu tentunya memerahkan mata (bukan telinga) para pendukung Jerman. Perang komentar dan postingan menghangatkan dinding fesbuk dari semenjak beberapa jam sebelum pertandingan dimulai.
Lalu bagaimana dinamika dinding fesbuk saya selama pertandingan berlangsung? Berikut ini cuplikannya yang dicopy paste dari kawan semasa kuliah,
Made : “Jerman leading 1-0 menit ke 3!”
Catur : “2-0 untuk jerman, Yeess!”
Karena ketinggalan 2 gol, para fesbuker pendukung Argentina mulai terlihat frustasi, seperti yang diungkapkan seorang kawan pekerja kemanusiaan di Aceh dulu,
Grey : ” Huhuhuhu… Gak jadi bikin daster seragam argentina, nih keknya,”
Lalu, para pendukung yang frustasi itu ternyata mulai memaki-maki tim kesayangannya sendiri, lihat saja pernyataan kawan SMA ini,
Sugi : “Argentina main bola koyok krupuk upil. Pemain back kon mulih ngarit nang sawah ae,”
Sementara itu, terdapat pengagum sejati Argentina yang konsisten dan tetap mendukung tim kesayangannya sendiri, terbukti postingannya bernada sedikit rasial, “Ah orang Jerman gak di kampus, gak di tempat kerja, gak di lapangan bola sama nyebelinnya!”Hehehehehe…
Melihat kondisi yang tidak menguntungkan bagi Argentina, rame-rame dinding fesbuk dipenuhi lagu, “Don’t cry for me Argentina.”
Fenomena Piala Dunia dan Fesbuk mengingatkan saya akan salah satu teori posmodernisme yang diusung oleh Jean Baudrillard, yang dikenal dengan istilah hiperrealitas. Teknologi terbukti berhasil menyalurkan informasi yang tak jarang telah dibengkokkan. Bahkan pada medium jejaring sosial yang sangat demokratispun realitas dipotong menjadi kode-kode bahasa yang membawa pesan berlebihan dibandingkan dengan kenyataan itu sendiri.
Dalam kasus Piala Dunia dan Fesbuk ini, postingan pernyataan adalah sebuah cara mempermainkan realitas, sebuah citra yang dipelintir dan pantulan dari fakta yang telah kehilangan kebenarannya. So, selamat datang di Dunia Hiperreal, seperti ungkapan kawan aktifis kemanusiaan tadi, ketika pertandingan berakhir, “gara-gara Dunga dan Maradona mau ngganti goyang Samba dan Tango dengan dangdut koplo tanpa belajar ke arema… beginilah akibatnya…”