Di dunia birokrasi Indonesia, kosakata koordinasi mungkin paling sering menjadi topik utama disemua level dimana saja.” Koordinasi adalah satu kata yang mudah diucapkan tapi pada kenyataannya selalu saja jauh panggang dari api,” begitu seorang birokrat senior di di negeri ini pernah bersaksi. Melihat pengalaman Negara lain yang telah lebih maju dari Indonesia, ternyata koordinasi juga menjadi isu penting yang belum sepenuhnya paripurna. Bahkan di negeri adidaya sekalipun, semacam Amerika, tidak jarang koordinasi belum tuntas terlaksana.
Tapi tunggu dulu, perbandingan tersebut tidak berarti membuat pelaku pembangunan di Indonesia secara otomatis memaklumi kondisi “lack of coordination” ini. Bangsa Indonesia harus mulai dari sekarang juga untuk berupaya mengubah kondisi ini menjadi lebih baik, menjadi lebih, “well coordinated.”
Contoh sederhana mengurai kerumitan koordinasi adalah pada saat proses perencanaan pembangunan. Selalu saja sering terdengar pernyataan, “kekurangan dana pembangunan,” ketika suatu daerah mulai membuat perencanaan APBDnya. Boleh jadi pernyataan tersebut adalah benar. Tapi apakah para birokrat Indonesia pernah benar-benar menguraikan secara lebih detail pelaksanaan di lapangan. Karena jangan-jangan bukan dana yang kurang, tapi koordinasi pembangunan yang justru menjadi masalah utamanya. Coba lihat foto dibawah ini yang saya ambil dari sebuah Desa di salah satu kabupaten di pelosok Pulau Flores. Sebuah FAKTA betapa dana pembangunan terhambur sia-sia. Berbagai proyek penyediaan sarana air minum datang secara bergantian setiap tahunnya. Ada yang dari Dinas A, Dinas B, Proyek X pemerintah pusat, Bantuan luar negeri Z dan sebagainya. Alhasil, di suatu desa terdapat 3 kali pembangunan sarana air dengan jaringan perpipaan dalam kurun tidak kurang dari 5 tahun. Jadilah pipa-pipa tersebut seperti jaring laba-laba. Huh! Hitung saja jika satu proyek menghabiskan dana 250 juta, berarti terdapat 750 juta yang tersalurkan di satu lokasi yang sama. Dan hal itu tidak terjadi di satu desa saja. Kejadian seperti ini cukup merata di beberapa lokasi lainnya. Jelas saja Indonesia kesulitan untuk bisa mencapai target Millenium Development Goal atau MDG dengan kondisi seperti ini. Karena dana pembangunan tidak “well coordinated”
Saya sedih, ketika mendengar ada sebuah kejadian tumpang tindih yang sama. Sebuah organisasi non pemerintah membantu beberapa sekolah untuk menyempurnakan sarana sanitasinya dengan membangun Jamban Sekolah. Prosesnya sangat pertisipatif, dan persiapannya berlangsung hampir setahun. Ada pelatihan bagi kepala sekolah, komite, dan guru penjas. Ada proses penyusunan rencana aksi sekolah untuk memformulasikan solusi dari masalah sanitasi dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat siswa sekolah tersebut. Dan bahkan ada proses survey teknis untuk mendesain pembangunan sarana sanitasinya. Semua proses dilaksanakan dengan menempatkan rekan-rekan pemerintah sebagai pelaku utamanya, bukan sekedar “terlibat”. Mereka yang mengidentifikasi kebutuhan, merencanakan perubahan dan melaksanakan rencana kerja itu.
Namun ketika organisasi itu mulai membantu pelaksanaan pembangunan sarana sanitasi sekolah, ternyata pada saat bersamaan pemerintah melalu Dana Alokasi Khusus (DAK) masuk juga ke sekolah yang sama. Membangun hal yang sama pula. Lucunya kedua sarana sanitasi tersebut dibangun berbarengan bersebelahan seperti berlomba. Jadi ternyata disinilah letak pernyataan “kekurangan dana pembangunan” tersebut. Disinilah letak dimana dana pembangunan negeri tercinta ini bertumpang tindih dan tidak terbagi secara merata. Sebuah potret realitas yang sungguh menggores hati nurani kita. Tapi tunggu dulu, coba dengar apa kata seorang birokrat merespon hal ini, “Itu kan proyek organisasi lain, sedangkan yang ini kan proyek pemerintah.” Oh Tuhan, sampai kapan kerumitan koordinasi ini akan berlangsung. Sampai kapan sinergi pembangunan dapat terwujudkan, sehingga dana pembangunan bisa terbagi secara merata dan tidak akan terdengar lagi pernyataan, “KEKURANGAN DANA PEMBANGUNAN”