Beberapa tahun terakhir ini ada fenomena yang menarik untuk kita perhatikan. Kosakata “perempuan” ternyata lebih sering digunakan daripada “wanita”. Aktivis LSM, mahasiswa, akademisi, pers bahkan pemerintah seperti sedang terjangkiti trend. Kata perempuan hadir baik dalam bentuk tulisan di media massa dan jurnal maupun diucapkan dalam diskusi atau seminar. Hal ini mengingatkan Saya pada sebuah lokalatih kekerasan terhadap perempuan, yang diselenggarakan di Bali beberapa waktu yang lalu. Debra H. Yatim, seorang feminis, sempat mempertanyakan perbedaan makna kata perempuan dan wanita. Kalau ternyata ia lebih suka menggunakan kata perempuan, itu adalah pilihan pribadinya. Tapi jika kosakata perempuan digunakan karena pemerintah sudah meresmikannya – seperti yang diakui oleh Debra – hal inilah yang perlu kita kaji bersama.
Ilustrasi yang saya paparkan diatas memperlihatkan upaya negara melakukan hegemoni atas masyarakat sipil. Hegemoni menurut Gramsci dalam bukunya The prison notebooks (1971) dipandang sebagai cara kelompok/kelas yang berkuasa untuk dapat terus memperoleh dukungan dari rakyat. Dalam perspektif Gramscian, hegemoni bekerja secara otomatis dalam tubuh masyarakat. Sehingga di satu pihak negara atau kelas yang berkuasa dapat memperoleh dukungan dari masyarakat, dan di lain pihak hegemoni tersebut merasuki kesadaran masyarakat sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi cara berpikir masyarakat tanpa mereka sendiri menyadarinya. Salah satu alat hegemoni yang paling ampuh ialah pengetahuan.
Adalah Foucault (1980) yang berhasil menjelaskannya kepada kita bagaimana pengetahuan dan kekuasaan hadir sebagai relasi yang saling memperkembangkan. Artinya tidak ada praktek pelaksanaan kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan dan tidak ada pengetahuan yang didalamnya tidak mengandung relasi kuasa. Begitu pula yang terjadi pada rezim-rezim yang berkuasa. Baik Orde Baru dengan wacana (peranan) wanita-nya maupun rezim Gus Dur – yang kemudian dilanjutkan oleh Megawati – dengan wacana (pemberdayaan) perempuan.
Wacana Wanita dan Pembangunan
Melalui wacana wanita ala Orde Baru, wanita bukan hanya didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol dan didisiplinkan. Seperti diketahui, Orde Baru sukses mempraktekkan wacana wanita pada tubuh masyarakat Indonesia. Beberapa diantaranya ialah melalui produk hukum, misalnya : TAP MPR No. II tahun 1993 atau Undang-undang Perkawinan dan bisa juga melalui Institusi seperti Dharma Wanita.
Dalam TAP MPR No. II tahun 1993 wanita didefinisikan sebagai “warganegara dan sumber daya insani pembangunan”. Kalimat itu jelas menempatkan wanita sebagai objek pembangunan. Saiful Arif dalam bukunya menolak pembangunanisme (1999) melihat ideologi pembangunan pada era Orde Baru hanyalah sebuah topeng dari kapitalisme yang dijual di negara bekembang, untuk – salah satunya – mengeksploitasi tenaga kerja wanita. Parahnya, rezim ini turut melestarikan ketidakadilan terhadap perempuan. Seperti kalimat dalam TAP MPR No. II tahun 1993 yang tertulis, “…….termasuk upaya mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia serta pengembangan anak, remaja dan pemuda dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya”. Tersirat bahwa untuk mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia (kerja domestik) merupakan tanggung jawab atau “kodrat” seorang ibu (wanita), tanpa ada teks yang mewajibkan ayah (laki-laki) juga bertanggung jawab. Singkatnya TAP tersebut menegaskan keinginan Orde Baru menempatkan wanita kedalam wilayah kerja domestik sekaligus wilayah kerja publik. Bentuk ketidakadilan yang terjadi disini adalah beban kerja ganda (double burden).
Undang-undang perkawinanpun tidak lepas dari upaya Orde Baru untuk menjinakkan, membentuk, mengontrol dan mendisiplinkan wanita. Dalam Undang-undang itu disebutkan bahwa “suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” (pasal 31 (3)), yang berarti laki-laki ialah kepala rumah tangga yang wajib mencari nafkah. Sementara wanita berfungsi sebagai ibu rumah tangga, dengan mengatakan “isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya” (pasal 34(1)).
Ada kerancuan yang sangat mengganggu dalam produk hukum itu ketika mendefinisikan sosok “ibu”. Jika kata ibu dimaknai sebagai peran yang mengurusi rumah tangga dan mendidik anak, maka pekerjaan/peran itu tidak harus dilakukan oleh perempuan saja. Pekerjaan “ibu sosial” (mengurus rumah tangga dan mendidik anak) adalah kewajiban bersama, baik bapak (laki-laki) dan juga ibu (perempuan). Undang-undang Perkawinan jelas menempatkan struktur rumah tangga bersifat asimetris, yaitu bapak yang memimpin, dalam arti ia yang bergerak di luar rumah tangga untuk mencari nafkah (kerja publik). Sedangkan isteri adalah ibu rumah tangga, yang tempatnya di rumah (kerja domestik). Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin seperti ini ialah gagasan budaya, yang parahnya diabsahkan oleh hukum positif di Indonesia.
Dharma Wanita adalah contoh lain yang memperlihatkan bagaimana Orde Baru menempatkan wanita sebagai faktor komplementer dan dekoratif. Bagimana tidak, proses penempatan struktur kepengurusan Dharma Wanita harus mengikuti herarki posisi suami dalam pekerjaannya. Hampir semua posisi ketua Dharma Wanita adalah istri dari para kepala instansi pemerintahan. Hanya dengan logika sederhana, Dharma Wanita alih-alih ingin meningkatkan peran anggotanya justru memposisikan mereka tersubordinat terhadap laki-laki.
Wacana Perempuan dan pembangkangan
Lahirnya gerakan kesetaraan gender atau lebih sering disebut dengan gerakan feminis di Indonesia, awalnya bukan inisiatif negara (state). Namun akar gerakan ini sebenarnya merupakan gerakan oposisi terhadap kekuasaan. Upaya pembongkaran atau pembangkangan, dimulai oleh Arief Budiman melalui bukunya pembagian kerja secara seksual, (1981), yang kemudian diikuti aktivis-aktivis feminis lainnya. Baik feminis perempuan seperti Gadis Arivia dan Julia Suryakusuma maupun feminis laki-laki seperti Arief Budiman, Mansour Fakih, Kris Budiman dan masih banyak lagi. Hingga saat ini, wacana-wacana perempuan hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari selebaran, jurnal sampai buku-buku, baik hasil penelitian maupun semi-teoritis.
Menarik untuk disimak pada tulisan Mansour Fakih (1989) dan Kris Budiman (2000) yang jelas jelas membedakan wanita dan perempuan. Ketika wacana perempuan dibedakan dengan wacana wanita, maka pada tingkat pilihan kata, baik kosakata wanita maupun perempuan mengandung makna ideologi tertentu, yang juga mengakibatkan konsekuensi tertentu pula. Hal ini sejalan dengan tesis Roger Fowler dkk. (via Eriyanto, 2001 : 133), bahwa pemakaian kata, kalimat, susunan dan bentuk kalimat tertentu, tidak dipandang semata sebagai persoalan teknis tata bahasa atau lingusitik, tetapi ekspresi dari ideologi, upaya untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan dan membenarkan pihak sendiri dan mengucilkan pihak lain. Pemakaian bahasa dianggap tidak netral karena membawa implikasi ideologis tertentu.
Asumsi diatas terlihat pada Kris Budiman (2000: 20-21) yang terang-terang membedakan wacana wanita dengan wacana perempuan. Jika wacana wanita, diproduksi oleh pusat kekuasaan Orde Baru melalui berbagi produk hukum, institusi dan pranata sosialnya, seperti yang sudah dibahas diatas. Maka wacana perempuan ialah wacana pinggiran yang diproduksi di luar lingkaran kekuasaan, ia merupakan kritik atas terjadinya ketidakadilan gender yang diakibatkan bias gender dan pemaksaan wacana wanita oleh Orde Baru.
Begitu pula dengan Mansour Faqih (1989) yang mendefinisikan “kodrat wanita” sebagai konstruksi sosial atau kultural. Yaitu peran kerja domesik seperti membesarkan anak, mencuci, merawat dan membersihkan rumah. Namun yang patut diperhatikan mengapa Faqih lebih memilih kata wanita untuk dilekatkan kepada kata kodrat, mengapa bukan kata perempuan saja. Pemilihan kata wanita yang disandarkan dengan kata kodrat bukan tanpa alasan. Praanggapan yang ada dibalik kata “kodrat” dalam konteks tulisan Faqih menggambarkan sikap total yang nrimo atau taken for granted kondisi yang dialaminya, dan untuk menunjukkan sosok yang nrimo tersebut, tanpa canggung ia menyatakannya dengan kata wanita. Faqih meminjam makna kata wanita dalam wacana wanita Orde Baru untuk ditempelkan pada kata kodrat.
Perempuan Versus Wanita
Bisa jadi kosakata perempuan telah mengalami pembengkakan makna. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, kata perempuan selama rezim Orde Baru digunakan oleh para aktifis LSM dan akademisi dalam tulisan tulisan mereka sebagai simbol perlawanan terhadap wacana wanita ala Orde Baru yang begitu menghegomoni. Kosakata perempuan kemudian menjadi simbol gerakan feminis, dimana ia dimaknai sebagai pemberontakan terhadap ketidakadilan lalu diharapkan menjadi semangat perjuangan untuk merubah struktur sosial yang bersifat patrialki menjadikan kondisi sosial yang lebih egaliter dan adil.
Namun kini, ternyata rezim yang berkuasa telah merampok spirit yang terdapat pada kata perempuan untuk kemudian dijadikan label salah satu bidang kerjanya. Pengakuan Debra pada awal tulisan tadi bisa dijadikan renungan bagi aktifis gender. Setelah kata perempuan (dan juga tentunya wacana perempuan) menjadi bagian dari hegemoni negara. Kosakata apalagi yang bisa dijadikan identitas bagi gerakan feminis diluar lingkaran kekuasaan negara.
* Penulis aktif dalam Kelompok Kerja Budaja Rakjat Bali.
[Catatan: Tulisan ini dicetak Harian Kompas edisi senin 23 Maret 2002, dishare dalam milis wanita muslimah dan ditanggapi oleh Hera]