Setiap orang yang berambisi menjadi penulis atau pengarang pasti dengan mudah menemukan buku-buku yang diinginkannya. Berbagai judul sudah banyak yang terbit, semacam buku “mengarang itu gampang” yang disusun oleh Arswendo Atmowiloto, “menulis artikel itu gampang” yang ditulis Nurudin atau Eka Budianta yang mengarang “menggebrak dunia mengarang”. Hampir semua toko buku memiliki koleksi mereka. Namun sayang, tak jarang buku-buku itu terlantar atau diterlantarkan.
Buku-buku berisi tips dan trik menulis itu tergeletak disudut rak paling terpencil, mereka terlantar disana karena jarang – jika tidak ingin disebut tidak ada – yang membeli. Diantaranya ada yang berdebu dan kusam, jangankan dibaca disentuhpun sepertinya tidak pernah. Pengelola toko buku juga terkadang semena-mena terhadap nasib buku jenis ini. Mereka meletakkannya asal saja dan tersebar di berbagai pelosok toko. Ada yang “nyasar” di rak buku kategori komputer hanya karena cover bukunya bergambar orang duduk di depan monitor komputer, sedikit diantara buku itu lebih baik nasibnya dengan ditumpuk bersama-sama buku hobby dan bakat, sebagian lagi berada di “habitat” aslinya, yaitu di bagian bahasa dan sastra.
Fenomena diatas setidaknya menjelaskan dua hal: pertama, minat baca dan penghargaan masyarakat Indonesia terhadap buku masih rendah, hal itu terlihat seperti dalam cara menempatkan buku yang tidak sesuai dengan kategorinya atau kenyataan yang memprihatinkan dimana banyak buku sampai berdebu karena tidak ada yang satu orangpun yang mencoba untuk – setidaknya – membuka sebelum membacanya. Kedua, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan hasrat masyarakat membangun sebuah gerakan budaya baru, yaitu budaya menulis.
Seperti diketahui barometer peradaban suatu bangsa sangat ditentukan dari produktivitas menulis masyarakatnya. Peradaban Yunani kuno dengan trio filsufnya, Socrates, Plato dan Aristoteles tidak mungkin bergema sampai sekarang kalau mereka tidak mengaktualisasikan ide dalam bentuk tulisan. Begitu juga Bangsa Arab di abad pertengahan, nama-nama semisal Ibnu Sina, Ibnu Arabi dan Al Ghazali tidak asing dan dikenal luas baik dalam dunia Islam maupun Barat melalui tulisan-tulisannya. Maka tidak salah jika The Liang Gie (1992) mengatakan, “Segala sesuatu musnah kecuali perkataan yang tertulis”.
Momen reformasi yang bergulir sejak lengsernya Soeharto, sempat membuka harapan bagi tumbuh dan berkembangnya tradisi menulis dalam masyarakat. Apalagi paska jatuhnya Orde Baru, negara tidak lagi campur tangan dalam urusan informasi publik dengan dibubarkannya Departemen Penerangan. Berbagai koran, tabloid dan majalah baru maupun yang pernah “dibungkam” lahir bak cendawan di musim hujan. Begitu pula dengan buku-buku yang terbit, berbagai judul dari berideologi kiri sampai beraliran kanan dapat kita temui dengan mudah.
Namun era reformasi yang membuka pintu kebebasan pers ternyata menyimpan satu kenyataan ironis. Sebuah majalah kampus beberapa tahun terakhir ini mati suri. Bukan karena dibredel oleh pihak penguasa atau kurangnya dana operasional, Majalah Kanaka milik mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana tidak bisa terbit. Akan tetapi kematian itu disebabkan tidak ada mahasiswa Fakultas Sastra yang “mau” untuk membangun kembali majalahnya. Padahal pada saat Rezim Orde Baru berkuasa Majalah Kanaka mampu menjadi barometer pers mahasiswa di Bali. Ia penah menjuarai sayembara yang diselenggarakan ISAI dan karena “kenakalan”-nya, Kanaka sempat dibredel Dekan Fakultas Sastra dan Departemen Penerangan ketika itu. Akan tetapi saat ini, majalah fakultas tertua di Universitas Udayana itu tinggal nama yang harumnya hilang ditelan jaman. Ironis memang, mahasiswa sastra yang seharusnya dekat dengan tradisi tulis-menulis ternyata tidak berdaya untuk menghidupkan kembali Majalah kebanggaannya.
Sepenggal cerita pedih diatas bisa dijadikan tolok ukur kualitas pers mahasiswa Indonesia. Semenjak Soeharto lengser, mahasiswa seperti kehilangan gairah dalam aktivitas pers kampus maupun pada komunitas gerakan. Entah karena kehabisan ide atau bingung membidik “musuh” baru. Yang pasti gerakan mahasiswa dan tradisi berpikir kritisnya memasuki masa kritis. Ya, gerakan mahasiswa saat ini tengah menuju “kematiannya”, karena tulis-menulis sebagai laboratorium eksperimen ide dalam merumuskan konsep juga isu gerakan sudah kehabisan “bahan bakarnya”.
Krisis “bahan bakar” dalam tulisan-tulisan mahasiswa belakangan ini, berawal dari kebiasaan mahasiswa membidik negara sebagai pusat kritik. Mungkin sewaktu Orde Baru dengan politik represif dan totaliter masih berkuasa, strategi menyerang alat kekuasaan bisa dibenarkan. Akan tetapi untuk praksis gerakan pada saat posisi negara melemah, siasat menghantam alat kekuasaan dapat dengan mudah terjebak dan dicurigai sebagai memperebutkan kekuasaan. Polarisasi gerakan mahasiswa yang terjadi pada saat Abdurrahman Wahid masih berkuasa membuktikan asumsi diatas, dan menurut saya itu adalah tanda-tanda lonceng “kematian” mahasiswa sebagai agent of change.
Untuk menguak proses “pembunuhan” gerakan mahasiswa Indonesia, institusi perguruan tinggi patut dicurigai sebagai penyebabnya. Melalui tembok-tembok kelas, pengaturan aktivitas, kontrol waktu dan stratifikasi, mahasiswa dilatih dan dididik bagaikan dibentuk menjadi prajurit yang patuh, yang berperilaku dan bertindak secara mekanis sesuai dengan pakem yang sudah ditentukan. Patuh terhadap dosen, dekan, rektor dan presiden yang berarti juga patuh terhadap sistem. Tanpa disadari sistem – sebagai relasi kekuasaan – yang bekerja di kampus-kampus dan termasuk negara mempraktekkan suatu teknologi penaklukan yang biasa disebut Foucault dengan disiplin (Foucault, 1995).
Disiplin pada perguruan tinggi dapat dianalogikan layaknya latihan militer Melalui seperangkat teknik tertentu terhadap tubuh mahasiswa, dilakukan upaya meningkatkan kemampuan di satu sisi dan di-mandul-kan secara politis di sisi yang lain. Impotensi kesadaran politis mahasiswa berangkat dari asumsi tidak ada praktek kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan dan tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi kuasa. Dalam selubung pengetahuan itulah kekuasaan bekerja secara tidak disadari, menyusup kemudian menaklukkan tubuh dan mental sedemikian rupa. Singkat kata melalui disiplin, diciptakan manusia patuh yang memiliki kelebihan/kemampuan tertentu.
Selama proyek disiplin terhadap tubuh mahasiswa berlangsung dan mahasiswa tidak berdaya membongkar selubung kekuasaan pada tubuhnya sendiri, maka selama itu pula intelektualitas dan kreatifitas mahasiswa terkubur dalam mesin pendidikan. Karena – meminjam ungkapan Nietsczche yang terkenal – the will to power atau kehendak untuk berkuasa selalu melahirkan kehendak untuk benar (the will to truth), yang juga berarti kebenaran atau truth yang dimunculkan oleh mekanisme kekuasaan, memposisikan dirinya sebagai norma dan bahkan moralitas sekaligus bagi praktek berkuasa (Ahmad Baso, 2001).
Mengkritik praktek ber-kuasa berarti mengkritik pengetahuan, dan mengkritik pengetahuan berarti mengkritik kebenaran, dan itu artinya kebodohan, kesesatan dan juga kegilaan. Dengan kata lain, praktek berkuasa, dengan teknik, efek dan mekanismenya yang subtil, menutupi dirinya dengan baju kebenaran, menjadi seolah-olah sebuah norma yang absolut dan wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Sekolah, gereja, lembaga-lembaga agama, penjara, rumah sakit, sanggar seni, barak militer, dan tidak lupa universitas dari perspektif relasi pengetahuan dan kekuasaan seperti yang disebutkan diatas merupakan alat-alat produksi kebudayaan. Institusi-institusi itu melalui kemampuan melahirkan pengetahuan tentang yang “benar” biasa digunakan sebagai alat represi budaya, sehingga tidak salah jika Foucault menyebut mereka sebagai agen-agen kebenaran.
Ada sebuah kasus menarik yang terjadi di Bali akhir Bulan Februari 2001 lalu. Sekelompok mahasiswa kritis yang melihat komersialisasi budaya Bali mencoba melakukan kritik dan perlawanan dengan berteriak lantang “menolak hegemoni”. Perhelatan budaya yang diusung oleh mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bali itu ternyata harus dibungkam oleh para agen kebenaran. Dengan berbagai alasan dan argumentasi, institusi perguruan tinggi (STSI), sanggar seni bersama dengan pers menyatakan kegiatan yang dilakukan mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (Kamasra) itu sebagai subversif dan tidak “benar”.
Kasus semacam “mendobrak hegemoni” diatas dapat dijadikan contoh bahwa praktek disiplin terhadap tubuh mahasiswa tengah bekerja dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Universitas sebagai presentasi “kebenaran” terbukti tidak dapat menerima kritik sebagai dialog antar berbagai pemikiran, wacana dan ide. Represi budaya seperti itu membawa konsekuensi logis yang menyedihkan. Universitas memproduksi sarjana seperti barak militer melahirkan serdadu. Melalui berbagai teknik pendisiplinan seperti penyeragaman, pengadministrasian, pengarahan, pengawasan, penundukan dan individualisasi, mahasiswa “dibentuk”, tak lupa ketika lulus diberi baju sarjana, lalu setelah itu sibuk bekerja mengabdi kepada mesin kapitalis di pabrik-pabrik maupun perkantoran yang bersedia memelihara mereka.
Pada sistem pendidikan modern di negara-negara berkembang, universitas dan sekolah hanya berfungsi menghasilkan pekerja terdidik. Dalam pandangan Paulo Freire (1995) sistem itu disebut sebagai sistem pendidikan yang menindas. Sebuah sistem dimana mahasiswa dianggap bejana kosong yang harus diisi “air” pengetahuan oleh dosen. Mahasiswa adalah objek yang tidak tahu apa-apa dan harus menerima apapun yang diketahui dosen sebagai subjeknya, mahasiswa diposisikan persis seperti celengan dimana dosen secara berkala menabung pengetahuan ke dalam tubuhnya. Dengan pendidikan gaya bank ini tercipta manusia-manusia patuh tanpa ruh dan tanpa semangat berkarya.
Penjelasan diatas dapat menerangkan mengapa aksi mahasiswa 1998 harus berakhir dengan antiklimaks. Bahwa mahasiswa yang “mengamankan” gedung DPR-MPR tiga tahun yang lalu, hanya ratusan bahkan puluhan saja yang benar-benar sadar akan posisi dan eksistensinya. Di luar yang segelintir itu adalah puluhan ribu zombie yang dibangunkan secara paksa atau sekedar ikut supaya dapat dikatakan gaul. Tragis memang, tapi itulah wajah asli sebagian besar mahasiswa Indonesia. Jadi, mohon jangan dipertanyakan tentang gerakan mahasiswa Indonesia sebagai agent of change apalagi tradisi menulis yang menjadi dapur dalam merumuskan konsep maupun agenda aksi. Karena gerakan dan tradisi itu sudah mati, seiring teknologi penaklukan menyusup dan menguasai tubuh mahasiswa.
Dari Kritik Politik Menuju Kritik Kultural
Gerakan mahasiswa di Indonesia tahun 1966 maupun 1998, berpijak pada wilayah politik sebagai basis materialnya. Saat itu kritik terfokuskan pada institusi dan individu yang menguasai negara. Tahun 1966 serangan dilancarkan kepada PKI dan Soekarno sedangkan tahun 1998 sasarannya ialah Golkar dan Soeharto. Pada titik ini mahasiswa terjebak pada semangat perubahan (baca: revolusi) model Marxis. Dimana Marx selalu mengandaikan perubahan yang hanya dapat dilakukan dengan cara mengambil alih alat-alat produksi kekuasaan (negara). Namun perhatian Marxis habis tersita kepada wilayah makro-politik seperti negara, sehingga lupa mengakomodasi kepentingan gerakan-gerakan sosial-kultural yang sifatnya lebih lokal dan mikro-politis, semacam feminisme, gerakan lingkungan, serta gerakan gay dan lesbian, yang sama-sama mengidentikkan dirinya sebagai “gerakan oposisi” terhadap negara.
Akhirnya seperti diketahui, gerakan mahasiswa itu gagal dalam melakukan perubahan mendasar. Toh perubahan hanya terjadi pada tingkat “atas”, sedangkan yang di “bawah” nasibnya tidak jauh berbeda dari rezim ke rezim. Kritik atas kekuasaan yang selama ini didominasi oleh Marxisme sudah terlalu renta untuk dijadikan pisau analisa apalagi sebagai ideologi gerakan. Toh, Marx terlalu percaya diri menganggap kuasa (Power) di-“milik”-i oleh alat produksi kekuasaan, seperti negara, partai politik atau militer. Padahal kekuasaan tidaklah tunggal dan dimiliki, kekuasaan mempunyai watak menyebar dan dipraktekkan.
Modifikasi analisis Marxian yang saat ini terkenal dengan sebutan post-strukturalisme mengambil momen serangkaian peristiwa di Prancis pada tahun 1968 sebagai batu pijakannya. Kala itu Marxisme sebagai praksis revolusioner mengalami krisis. Watak Marxisme yang cenderung sentralistis dan tidak tanggap dengan persoalan kemanusiaan yang banyak terjadi di Prancis saat itu digugat oleh para buruh dan mahasiswa. Peristiwa yang terkenal dengan Revolusi Mei 1968 itu membongkar habis “birahi kekuasaan” golongan kiri yang tersembunyi di balik topeng jargon pembebasan umat manusia dari ketertindasan. Dengan demikian gerakan Mei 68 bukan hanya melawan negara, bukan cuma sistem kapitalisme-borjuis, tapi juga partai-partai berideologi revolusioner semacam Marxisme-sosialisme. Lebih jauh lagi gerakan itu juga melancarkan kritik terhadap alat-alat represi budaya termasuk sekolah dan perguruan tinggi.
Meski Revolusi Prancis 1968 gagal secara politis, karena gerakan tersebut mampu diredam oleh De Gaulle (penguasa Prancis saat itu), namun berhasil secara kultural, karena imbasnya pada level kultural dan intelektualisme benar-benar merupakan sebuah revolusi. Ketika itu, intelektual dan mahasiswa Prancis menyatakan kekecewaan terhadap Marxisme. Marxisme hanya fasih berbicara tentang kapitalisme, tentang alat-alat produksi ekonomi, dan dominasi negara. Tapi, bungkam ketika dominasi atau kuasa mengambil bentuk alat-alat produksi kultural dan konstruksi kebudayaan seperti sekolah, universitas, televisi, surat kabar (dan mungkin juga agama), ras, gender, dan seksualitas (Ahmad Baso, 2001).
Bertolak belakang dengan yang terjadi di Prancis, gerakan mahasiswa Indonesia berhasil secara politis, terbukti mereka sukses menurunkan Soekarno dan Soeharto dari kursi kekuasaan namun telah gagal total pada level kultural. Institusi perguruan tinggi belum juga merubah sistem pendidikan pragmatisnya, kerusuhan antar ras dan agama tidak pernah berhenti, diskriminasi gender masih sering terjadi dan itu hanya beberapa contoh dari banyak permasalahan budaya di Indonesia yang jarang menjadi perhatian mahasiswa.
Menulis Sebagai Gerakan Kritik Budaya
Dari perbandingan aksi mahasiswa Indonesia dengan gerakan mahasiswa Prancis yang dipetakan diatas, dapat ditarik benang merah gagalnya aksi mahasiswa yang terjadi di Indonesia. Gerakan – baik pada tataran aksi jalanan, diskusi maupun bentuk wacana tulis – yang cenderung melihat negara saja sebagai biang penyebab kemelaratan, ketertindasan juga diskriminasi, dan maka dari itu negara juga yang harus bertanggung jawab dalam membuat perubahan mendasar, sudah tidak efektif lagi. Belajar dari sejarah “perkelahian” antar eksekutif dengan legislatif pada era pemerintahan Gus Dur, tidak salah jika ada mahasiswa yang sadar kalau proses transformasi sosial tidak dapat terjadi jika hanya mengandalkan inisiatif negara saja.
Selama mahasiswa masih keras kepala dan terlalu percaya bahwa hanya ada satu model gerakan untuk membuat perubahan maka janganlah terlalu banyak menaruh harapan di pundak mahasiswa. Selama sistem pendidikan tinggi terlalu birokratis, pragmatis, konservatif dan positivis tidak salah jika Abdurrahman Wahid memanggil mahasiswa dengan sebutan “intelektual tukang” (Abdurrahman Wahid, 2001).
Untuk itu mahasiswa harus berani merombak secara radikal metode gerakannya. Sebuah taktik gerakan yang tidak hanya mengkritik pusat kekuasaan, namun juga “membongar” alat-alat represi budaya semacam sekolah, perguruan tinggi, media (koran, televisi dan iklan) dan mungkin juga agama. “Membongkar”, menurut Jacques Derrida (1993) adalah strategi intelektual dalam membedah bangunan bahasa, ideologi, ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan yang selama ini diterima sebagai “kebenaran”.
Nah, pada wilayah budaya inilah bisa dijadikan tambang “bahan bakar” baru bagi mahasiswa Indonesia dalam melancarkan kritik-kritiknya, baik dalam bentuk diskusi, tulisan maupun aksi seperti mahasiswa STSI yang disebutkan diatas. Namun bagi saya menulis adalah pintu masuk paling efektif untuk gerakan kritik budaya itu. Sebagai langkah awal gerakan kritik budaya dapat dilakukan dengan cara membangun kesadaran baru pada mahasiswa untuk mendesentralisasi kritik pada tingkat yang lebih kecil dengan wilayah yang lebih lokal. Seperti juga strateginya Foucault ketika ingin menguak “kehendak berkuasa”, ia memindahkan pusat perhatian dari yang besar-besar seperti negara dan masyarakat menuju unit-unit kecil semacam rumah sakit jiwa dan penjara sebagai bahan kajiannya.
Siasat gerakan kritik budaya yang demikian memang remeh tapi jika dibangun secara massif efek yang dihasilkan tentu mencengangkan. Bayangkan saja, ribuan mahasiswa yang berdemo memindahkan energinya dengan menuliskan kritik budaya, berapa banyak kertas kerja yang bertaburan dan berapa ribu pemikiran yang terlontar. Dari partikel-partikel terkecil di berbagai ranah kehidupan, tulisan-tulisan mahasiswa adalah investasi dimana terbuka kesempatan melakukan perubahan radikal yang negara saja mungkin tak sanggup.
Tetapi, ada fenomena unik yang hanya terjadi pada gerakan mahasiswa Indonesia. Seorang aktivis akan terlihat maskulin (jantan) jika berdiri diatas mimbar dan berteriak demokrasi, kuasa dan militer, namun berubah feminis kalau ia bergerak lewat tulisan atau sekedar melalui diskusi. Artinya dalam dunia gerakan mahasiswapun mengenal pembedaan seperti pada pembedaan jenis kelamin sosial atau biasa disebut dengan gender. Hal ini memperlihatkan kuatnya cengkraman budaya paternalistik di Indonesia. Nah, kalau bangunan budaya seperti itu saja tidak dapat dibongkar oleh mahasiswa dengan selalu menggunakan logika dikotomis oposisi biner semacam lisan/tulisan yang simetris dengan oposisi biner maskulin/feminis, sekali lagi mohon jangan pertanyakan gerakan dan tradisi kritis mahasiswa sebagai agent of change karena riwayat tradis kritis itu sudah mati.
[catatan: Tulisan ini terpilih sebagai pemenang harapan dalam lomba penulisan essay Yayasan Toyota Tahun 2001 yang lalu]
Sumber foto wikipedia