(sumber foto: wikipedia)
Bagi masyarakat Desa Pring, sebuah desa di Kabupaten Gianyar, nama I Made Kartana tidaklah asing. Selain mantan Kepala Desa, lelaki kelahiran 1950 itu – ia mengaku lupa tanggal dan bulan, tepatnya ia lahir – merupakan salah satu dari sekian ribu keluarga korban pembunuhan massal PKI di Bali. Ya, tragedi yang terjadi di Pulau Dewata selama rentang tahun 1965 – 1968 itu menelan nyawa manusia tidak kurang dari 80.000 anggota/simpatisan PKI. Dusun Tojan yang merupakan salah satu dari 6 dusun di bawah wilayah administrasi Desa Pring, tempat Made Kartana tinggal, juga tidak lolos dari incaran pembantaian. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena menurut pengakuannya, Dusun Tojan yang mayoritas penduduknya petani ketika itu adalah basis kekuatan PKI.
Pak Made, begitu ia biasa dipanggil, tidak akan pernah bisa melupakan peristiwa di suatu siang pada Bulan Oktober 1965. Saat dimana kakak sulungnya yang bernama Sanu Ardika di ambil secara paksa dari rumah, untuk kemudian di bawa ke depan Bale Banjar Dusun Tojan. Di tempat itu, ia melihat dari kejauhan, kakaknya dianiaya oleh sekitar tujuh orang berpakaian loreng-loreng. “Kakak saya dipukuli dan diinjak-injak oleh tentara dengan popor senjata dan sepatu laras mereka”, kata Pak Made mengingat. “Walau disiksa secara kejam di depan penduduk desa, ia tidak melakukan perlawanan apapun,” tambah Pak Made. Berpuluh-puluh tahun kemudian bapak tiga anak ini baru tahu bahwa orang yang berpakaian loreng tersebut berasal dari kesatuan ARSU atau Artileri Serangan Udara.
Sanu Ardika sendiri beberapa hari sebelum penganiayaan baru saja pulang dari Denpasar, tempatnya bekerja. Kondisi Kota Denpasar ketika itu tidak menentu, rumah-rumah dibakar dan para anggota PKI dicari-cari untuk didaftar. Dalam kondisi demikian kakak Pak Made ini berharap bahwa situasi dan kondisi di Dusun Tojan tidak separah di Denpasar. Namun harapan Sanu Ardika salah, kedatangannya diketahui oleh Kepala Dusun Tojan ketika itu, Ketut Tangsi. Karena mendapatkan perintah, Ketut Tangsi memanggil Sanu Ardika untuk datang ke depan Bale Banjar Dusun Tojan. Dan terjadilah peristiwa penganiayaan itu
Beruntung bagi Sanu Ardika karena ia tidak dibunuh. Walau demikian muka Sanu Ardika sempat babak belur dan sebagian besar kulit mukanya robek “Saya sendiri sampai ngeri dan trauma melihat wajah kakak saya”, tutur Pak Made yang kini telah beristri dua. Namun kegembiraan keluarga Pak Made tidak berlangsung lama, beberapa hari kemudian ia mendengar berita bahwa akan ada pengambilan secara paksa orang-orang yang terdaftar sebagai anggota PKI maupun underbownya. Maka seketika itu pula, kakaknya melarikan diri dari rumah. Bersama-sama seorang teman dekatnya, mereka menyelamatkan diri dan pergi ke Denpasar. Naas, hari kepergian Sanu Ardika ke Denpasar adalah hari terakhir bagi Pak Made melihat wajah kakaknya. Karena setelah kepergian Sanu Ardika dari rumah, Pak Made beserta keluarga tidak pernah bertemu lagi dengan kakaknya itu.
Keluarga Pak Made ini hampir semuanya adalah anggota dan simpatisan PKI. Selain Sanu Ardika, kakak perempuannya yang lain seperti Nyoman Lendri, Ni Wati dan Ketut Tari adalah anggota Gerwani. Rumah suami Nyoman Lendri yang bernama Ketut Sandi di Desa Blah Batu pernah dibakar oleh massa, akibat keterlibatan Ketut Sandi sebagai anggota Pemuda Rakyat. Pak Made sendiri ketika itu baru berumur 15 tahun dan belum sempat ikut secara aktif dalam organisasi PKI ataupun sayap organisasi PKI yang lain, seperti Pemuda Rakyat, BTI atau Lekra.
Pria yang sekarang menekuni bisnis jual beli mobil ini pernah mendapat pengalaman tidak enak akibat aktivitas keluarganya yang simpatisan dan anggota PKI. Ketika pemilihan Kepala Desa pada tahun 1986 dimana ia mencalonkan diri, banyak surat kaleng yang menyebutkan dirinya terlibat PKI. Hal itu tidak membuatnya patah semangat, akhirnya ia dapat lolos dan berhasil menjadi Kepala Desa Pring hingga tahun 1994.
Namun seperti pengakuannya kepada tim relawan YPKP Bali pada Hari Sabtu Tanggal 11 Agustus 2001 lalu, ia tidak sedikitpun merasa hina dan malu jika disebut sebagai keluarga orang PKI. “Saya bangga memiliki kakak seperti Sanu Ardika”, begitu kalimat yang keluar dari bibir Pak Made lugas. Malahan luapan emosi yang tersirat di wajahnya seperti ingin menyatakan keinginan yang kuat untuk mengungkap siapa pembunuh, bagaimana kejadiannya, apa alasannya, kalaupun benar sudah meninggal dimana kuburannya dan berjuta pertanyaan lain.
Selain Sanu Ardika, tetangga Pak Made ada juga yang dibunuh. Mereka adalah I Wayan Mandi dan Ketut Sukarno, keduanya bisa dikatakan masih kerabat dekat keluarga
Bagi saya yang terpenting saat ini ialah mengungkapkan kebenaran”, kata Pak Made pelan dan datar tanpa mengurangi semangat keingintahuannya itu. Seperti yang diceritakan olehnya, Sanu Ardika memang pernah ikut dalam sebuah organisasi. Organisasi itu ialah Serikat Buruh Tekstil di Perusahaan Bali Tekstil tempat kakaknya bekerja. SB Balitek atau kependekan dari Serikat Buruh Bali Tekstil secara ideologis memang memiliki afiliasi dengan PKI, Partai yang diberangus oleh rezim Orde Baru. Hanya saja, menurut Pak Made kakaknya tidak pernah melakukan tindakan melawan hukum. Kalaupun keterlibatan Sanu Ardika pada Serikat Buruh dimana ia menjabat sebagai ketuanya dinyatakan bersalah, maka hal itu harus diputuskan melalui jalur pengadilan dahulu. Akan tetapi penganiayaan dan “hilangnya” Sanu Ardika – seperti juga beribu-ribu Sanu Ardika yang lain – tanpa melalui proses pengadilan.
Setelah kepergian kakaknya, Bulan Maret 1966, keluarga Pak Made mendengar berita bahwa kakaknya di tahan di Penjara Pengambingan Denpasar. Kemudian pada awal 1967, melalui seorang keluarga jauh yang anggota TNI Angkatan Udara, mereka mengecek kebenaran berita tersebut. Akan tetapi jawaban yang diperoleh mereka, hanya berupa lembaran kertas yang berisi daftar nama-nama, dimana nama kakaknya tertera dan ditindih coretan merah. Keluarga Pak Made hanya bisa menebak-nebak maksud coretan merah yang ditumpuk diatas nama Sanu Ardika. Namun Pak Made yakin bahwa kakaknya itu sudah “dihabisi”.
[catatan akhir: Karena kemalasan saya dalam menulis, terpaksa saya mendaur ulang dan copy+paste tulisan lama kedalam blog ini. Tulisan ini disadur dari transkrip wawancara dengan Bapak Made Kartana 11 Agustus 2001]