Alor Kecil

Matahari belum lagi sempat memperlihatkan sinarnya di ufuk timur dan udara dingin masih terasa menusuk ketika saya harus berangkat menuju Desa Alor Kecil pagi itu. Alor Kecil adalah sebuah desa nelayan yang jaraknya sekitar 15 km arah barat Kota Kalabahi, Ibukota Kabupaten Alor, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Perjalanan menuju Alor Kecil ditempuh dengan menyusuri lekuk garis pantai teluk mutiara, teluk yang membelah Pulau Alor dengan luas total 2.864,6 km² ini menjadi dua bagian. Bagian kecil di ujungnya yang mirip dengan kepala burung dan bagian lain yang berukuran lebih besar. Tapi jangan heran, walaupun berukuran relatif kecil, terdapat 14 bahasa daerah yang digunakan oleh berbagai suku yang hidup dipenjuru Pulau ini dengan tidak kurang dari 50 dialek yang berbeda.


View Larger Map

Sepanjang perjalanan yang sedikit berkelok, naik dan turun ini, saya disuguhi pemandangan yang menawan. Walau masih temaram, saya dapat melihat dengan jelas air laut yang mendebur garis pantai dengan tenang. Teluk Mutiara yang menjorok jauh kedalam membuat Kalabahi menjadi semacam lokasi pelabuhan alami yang nyaman bagi kapal-kapal laut besar, dan terhindar dari pertemuan arus selat ombay dan selat pantar yang mengganas pada musim-musim tertentu. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan Belanda memindahkan Ibukota dari Alor Kecil menuju Kalabahi pada tahun 1911.

Sunrise Alor Kecil

Tak berselang 15 menit semenjak berangkat dari Kalabahi, saya sampai di sebuah dermaga Desa Alor Kecil. Dermaga ini cukup disandari kapal motor yang hilir mudik dari berbagai pulau disekeliling Pulau Alor, seperti Pulau Kepa, Pulau Pura, Pulau Buaya, Pulau Ternate (yang ini bukan Pulau Ternatenya Maluku) atau Pulau Pantar, Pulau kedua terbesar di Kabupaten Alor. Tidak terlihat bekas-bekas bahwa di desa ini dulunya adalah sebuah ibukota, dimana Belanda memusatkan pemerintahannya. Hanya terlihat satu rumah panggung tua yang sekarang dijadikan cagar budaya. Melihat dari bentuknya, saya berspekulasi rumah rumah panggung itu memiliki hubungan kultural dengan rumah panggung masyarakat sulawesi selatan yang terkenal gemar berkelana. Ah, mungkin kampung ini adalah salah satu komunitas diasopra dari etnis bugis atau makasar.Saya berjalan diatas dermaga, mencoba untuk menangkap rona putih yang semburat dari arah timur. Cahaya itu menimbulkan garis artistik dilangit, seperti jejak kelebat kuas pelukis diatas kanvas. Aroma khas pesisir yang bercampur embun pagi bisa jadi bahan puisi yang (sesalnya) tak pernah tertuliskan sampai saat ini. Ah… Sibuk, selalu begitu alasannya.

Alor Kecil Harbor

Wah, jangankan puisi. Untuk mencatatkan indahnya pagi di dermaga kecil ini saja saya harus setengah mati mengasah kembali inspirasi yang tumpul dan berkarat. Persis tambatan perahu dari baja yang kusam itu.

Sekali lagi, Alor Kecil di pagi hari….. Satu kesempatan dalam perjalanan hidup yang selalu saya syukuri…

One thought on “Alor Kecil