Ketika Adele Berdendang Lagu Dangdut Koplo

Bayangkan, jikalau penyanyi lagu top papan atas di dunia sekelas Adele ndangdutan. Suara perempuan bertubuh subur yang berjenis dark Mezzo-Soprano itu, ternyata bisa klop dengan bunyi ketipung yang ditapuk bertalu-talu dan organ elektrik yang meringkik. Inilah bentuk hibridasi yang patut dirayakan, ketika hegemoni budaya global harus mau diracik ulang agar sesuai dengan selera telinga lokal, maka batas antara barat dan timur menjadi kabur.

Siapa yang meragukan kualitas Adele? Pada usianya yang masih muda (lahir tahun 1988), dia berhasil meraih puluhan penghargaan musik kelas dunia, semacam grammy award, brit award and american music award. Hampir semua lagu yang dinyanyikan Adele ada di tangga lagu papan atas. Beberapa lagu favorit saya semacam, set fire to the rain, someone like you dan rolling in the deep. Tapi, khusus lagu rolling in the deep, saya lebih memilih versi yang dinyanyikan Linkin Park. Lebih mantap dan mak jleb dibanding yang dinyanyikan Adele.

Adele sebagai penyanyi kelas dunia tentu tidak perlu diragukan lagi. Lagu-lagunya yang bertengger di papan atas di banyak negara menunjukkan penerimaan publik atas karyanya. Tapi, tunggu dulu. Bagaimana jika tidak semua penduduk di dunia ini bersedia untuk tunduk pada standarisasi selera dalam bermusik. Bagaimana jika Timur tidak lagi mau didikte oleh Barat untuk menerima begitu saja arus deras globalisasi. Bagaimana kalau alunan musik ke-Barat-Barat-an yang mendampingi suara ciamik Adele ternyata tidak ramah di telinga kita, masyarakat di negara berkembang. Lalu, apa yang terjadi jika masyarakat di negara-paska-kolonial ini menggubah, tepatnya mendekonstruksi, lagu sang biduanita itu agar terdengar lebih familiar.

Bayangkan, jikalau penyanyi lagu top papan atas di dunia sekelas Adele ndangdutan. Suara perempuan bertubuh subur yang berjenis dark Mezzo-Soprano itu, ternyata bisa klop dengan bunyi ketipung yang ditapuk bertalu-talu dan organ elektrik yang meringkik. Inilah bentuk silang budaya yang patut dirayakan, ketika hegemoni budaya global harus mau diracik ulang agar sesuai dengan selera telinga lokal, maka batas antara barat dan timur menjadi kabur.

Saya jadi teringat Homi Bhabha yang membungkus fenomena sosial itu dengan konsep yang ia sebut hibridasi budaya. Cendekiawan studi-studi paska-kolonial itu melihat Adele yang berdendang lagu dangdut koplo sebagai strategi budaya yang apik ketika Timur bertemu dengan Barat tanpa harus salah satunya mendominasi yang lain. Selamat datang kawan, ini era paskamodern.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *