Bacaan akhir pekan dari the Jakarta Post ini saya teruskan kepada para orang tua kami di sekolah, bapak dan ibu guru SMA Sooko Mojokerto. Artikel ini menekankan peran guru untuk membawa bangsa Indonesia ditengah persaingan global yang semakin ketat. Penulisnya, Tian Belawati rektor Universitas Terbuka Indonesia, mengingatkan kepada kita semua bahwa guru memainkan peranan penting untuk mengembangkan rasa ingin tahu dan daya kritis para siswa dan siswinya. Teknik dan gaya seorang guru dalam menyampaikan pelajaran atau sesuatu ide dapat memicu gairah belajar siswanya dan pada akhirnya berpengaruh pada hasil akhir proses pembelajaran itu sendiri.
Saya ingat sekali, ada beberapa guru SMA Sooko yang berhasil memicu daya kritis kami. Salah seorang guru, meski senang sekali memisuh di kelas, membuka wawasan kami pada banyak hal yang saat itu belum dianggap normal dan biasa, setidaknya untuk ukuran kota kecil sekelas Mojokerto. Guru ini, menurut pengakuannya, punya catatan tentang jadwal kegiatan hingga tiga empat bahkan lima bulan kedepan. Ia juga selalu membawa komputer jika sedang tugas luar sekolah. Ketika itu laptop bukan sesuatu yang jamak, jadi yang ia bawa adalah satu unit komuter utuh, seperti monitor, CPU, keyboard, dan sebagainya, yang ia taruh di mobilnya dan dirakit ditempat ia mengikuti pelatihan atau seminar peningkatan kapasitas guru. Tingkah polah beliau itu diluar kemampuan kami untuk memahaminya. “Kok repot-repot bawa komputer dan hidup kok pake jadwal segala,” begitu kata seorang teman mengomentari sang guru yang unik ini. Dilain waktu, meski ia guru pengetahuan alam, konsep ‘globalisasi’ ia jelaskan dengan ringan dan membumi. Sesuatu yang langka, karena guru pengetahuan alam biasanya bicara melulu tentang pengetahuan alam.
Ada lagi seorang guru di SMA Sooko yang sangat kritis dan membuka ruang dialog bagi siswa-siswinya. Kebetulan mata pelajaran yang diampu tidak seharusnya dihapal tapi dipahami, dan bahkan dikritisi. Hanya saja, ketika itu kami (atau setidaknya saya sendiri) tidak mengerti bagaimana berpikir kritis. Yang kami harus tahu dan hapal untuk pelajaran itu adalah, misalnya, tahun berapa PKI melakukan pemberontakan, siapa saja jendral yang dibunuh oleh PKI, siapa ‘pahlawan’ yang berhasil membasmi PKI, apa isi supersemar, dan hapalan hapalan lainnya tentang sejarah bangsa ini. Oh ya, tidak lupa pula hapalan butir butir pancasila. Tidak pernah diajarkan kepada kami untuk menjawab pertanyaan, misalnya, mengapa disebut pemberontakan PKI bukan kudeta militer, atau mengkritisi tindakan jendral soeharto yang mengambil alih kepemimpinan militer meski ada jendral lainnya yang berpangkat lebih tinggi. Semua jawaban harus sesuai buku teks, diluar itu jangan harap mendapat nilai bagus. Nah, guru kami yang ini berbeda karena membuka nalar kritis kami. Ia menyampaikan banyak hal diluar teks yang sangat kontekstual. Dia juga satu-satunya (sepanjang ingatan saya) yang memberikan tugas menulis essay dengan tema refleksi pembangunan Indonesia saat itu. “Silahkan menulis berpuluh-puluh lembar atau bahkan satu kalimat saja juga boleh,” begitu penyampaiannya kepada kami, dengan tidak membatasi jumlah kata atau panjang halaman yang harus ditulis. Hingga akhirnya pada saat tengat waktu pengumpulan essai tiba, saya belum juga menulis satu kata pun. Mungkin karena malas atau tidak tahu cara menulis yang baik, saya merobek selembar kertas dan menulis satu kalimat sebelum mengumpulkan tugas itu kepada beliau, “Indonesia belum merdeka.” Alhamdulilah, meski tidak mendapatkan nilai sempurna, saya lulus dengan nilai sangat memuaskan.
Kini, berpuluh puluh tahun sudah, saya lepas dari SMA Sooko. Sesuatu yang lucu ketika saya SMA, seperti memiliki jadwal kegiatan hingga berbulan-bulan kedepan, ternyata bukan hal yang aneh. Bahkan wajib, jika ingin menjadi orang yang sukses. Membawa serta komputer ke berbagai pelatihan adalah suatu keharusan saat ini. Tapi yang dibawa versi ringkas komputer tentunya: laptop, netbook atau bahkan kompute tablet. Globalisasi juga sudah menjadi bagian keseharian kita. Lalu, bagaimana dengan tradisi berpikir kritis? Masihkan adek adek kami diharuskan menghapal tanggal, bulan dan tahun kejadian-kejadian di masa lalu itu. Bisakah guru pengetahuan alam berbicara tentang fenomena sosial di depan kelas. Atau seperti kata Tian Belawati, mampukah guru-guru kita lepas dari belenggu teacher-centered learning, dimana guru selalu dianggap mengetahui semuanya.
Pictures taken from Kurakura kikuk blog dan situs SMAN Sooko
Article Saving the future: teachers can meet challenge of skill shortage taken from The Jakarta Post
One thought on “Tentang Guru Kami……”