Ilmuwan Juga Manusia

Lagi asyik-asyiknya baca journal, tiba-tiba ada tiga atau empat kata yang terdengar lucu dan jarang secara jujur diungkap dalam artikel akademik. Biasanya tiga kata itu ditulis dalam kata yang lebih halus dan berkias. Kalimat asilnya dalam artikel itu tertulis, “Since scientists are human beings, …..” Kira-kira dalam bahasa Indonesia,  artinya adalah,

“Ilmuwan juga manusia…..”

Lalu apa salahnya menjadi manusia? Tidak ada! Tapi kejujuran bahwa ilmuwan memiliki keterbatasan dalam melaksanakan tugasnya menjadi sangat penting. Keterbatasan bukan hanya dalam kemampuan memahami dan menjelaskan proses sosial dan fisik tapi juga keterbatasan motivasional, yaitu uang! Ilmuwan juga manusia yang membutuhkan uang untuk hidup. Tugas mereka tidaklah mudah karena mengemban amanah “to answer the greatest questions ever.” Ilmuwan dituntut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis dan praktis, semacam apakah alien (dan tuhan) itu ada atau tidak, memahami dan menjelaskan bagaimana dunia (sosial and fisik) bekerja, and last but not least “saving the world from catastrophic.” Ya, ilmuwan juga diminta untuk mencari solusi atas bencana perubahan iklim yang diakibatkan ulah manusia sendiri. Dan kawan, uang adalah bahan bakar yang sempurna untuk semua tugas mulia itu.

Saya terkesan sinis dan terlalu menyederhanakan. Tapi kawan, bukankah itu yang sebenarnya terjadi. Bukankah “brain drain” intelektual Indonesia terjadi karena salah satu dan salah utamanya adalah faktor uang. Seorang teman pernah mencoba berargumen menjawab pertanyaan, kenapa dunia pendidikan di Indonesia terpuruk. Dia bilang, “gaji guru dan dosen itu jauh lebih rendah dari gaji dokter dan insinyur. Jadi jelaslah orang-orang pinter berbondong-bondong jadi dokter dan insinyur.” Saya tidak sepakat dengan jawaban dia yang sangat menyederhanakan situasi, sementara pada kenyataannya jauh lebih kompleks. Tapi kawan, coba dengar cerita ini. Saya bertemu dengan seorang doktor (juga researcher terbaik dunia dibidangnya) berwarga negara Indonesia yang hampir menjadi professor di perguruan tinggi di New Zealand. Dia mengatakan, “daripada gue korupsi di Indonesia, lebih baik bekerja di tempat dimana gue gak perlu korupsi dan ilmu gue DIHARGAI dengan layak.” Ya… itulah fakta. Selama negara tidak bisa menghargai ilmuwan dan akademisi (guru dan dosen), jangan harap “ilmuwan bukan manusia” yang bisa bekerja dengan baik tanpa upah yang layak. Kira-kira demikianlah simpulan artikel akademik tentang climate change sepanjang 24 halaman yang rumit itu.

Dan tulisan ini untuk menjadi renungan bagi kita semua…… jika climate change itu rumit

Ilmuwan juga manusia total lagi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *