7,5 Trilyun Rupiah, Kebutuhan Investasi Air Minum dan Sanitasi di NTT

Mama Tamar, ibu dua anak itu berjalan tertatih sambil membawa dua buah jerigen air. Setiap hari, sedikitnya dua kali, ia harus berjalan kaki tidak kurang dari 1 kilometer untuk mengambil air ber-sih di sumur terdekat dari rumahnya. Ka-dang ia harus mengambil air sambil menggendong anaknya yang baru beru-mur dua tahun. Dirumahnya, ia tidak memiliki jamban, bahkan yang paling se-derhanapun. “Biasanya di kebun,” begitu jawaban singkat Mama Tamar jika ia ingin membuang hajat. Potret kehidupan di sa-lah satu desa di NTT yang pernah saya kunjungi itu, menggambarkan kondisi pe-layanan Air Minum dan Penyehatan Ling-kungan (AMPL) di Bumi Flobamora ini.

Semua dapat

Sulitnya akses pada kebutuhan dasar sep-erti yang dialami oleh Mama Tamar juga dirasakan oleh sebagian besar masyarakat di NTT. Data yang dirilis oleh BPS me-nyebutkan bahwa baru 49,29 persen masyarakat di NTT yang dapat menikmati akses berkelanjutan terhadap air minum yang layak. Sedangkan untuk akses berke-lanjutan terhadap sanitasi yang layak, Provinsi NTT menempati posisi kedua ter-endah dari 33 Provinsi di Indonesia, yaitu baru mencapai 26,23 persen, jauh dibawah rata-rata nasional yang mencapai 55,53 persen. Fakta lain mengenai kondisi sanitasi dasar adalah satu dari lima keluar-ga di Provinsi NTT masih melakukan Buang Air Besar di sembarang tempat (Riskesdas 2010).

Merujuk tulisan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT (Pos Kupang, 3/12/2011), dibutuhkan anggaran baik APBN maupun APBD sebesar 7,5 trilyun rupiah, atau rata-rata 1,5 trilyun rupiah pertahun agar Provinsi NTT dapat men-capai target MDGs (Millennium Develop-ment Goals) dibidang AMPL pada Tahun 2015. Faktanya anggaran APBN dan APBD untuk bidang AMPL masih sangat rendah. Sebuah studi yang dilakukan oleh WASPO-LA (Water Supply and Sanitation Policy Action Planning Project) di tahun 2007,  memperlihatkan bahwa alokasi dana untuk sector AMPL hanya berkisar antara 0,3% hingga 1,4% dari total APBD Kabupaten/Kota di Indonesia. Bahkan di tahun 2011, total anggaran sektor AMPL di seluruh NTT tidak lebih dari 200 milyar rupiah. Lalu darimana defisit anggaran trilyunan rupiah tersebut harus dicari? Apakah Pemerintah Provinsi dan 21 Kabupaten/Kota memiliki kemampuan fiskal dan komitmen politik untuk menutupi defisit anggaran itu?

Apakah Pemerintah Pusat harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, apabi-la kemampuan fiskal daerah tidak mencukupi?

Pembangunan AMPL, seperti diamanatkan dalam Un-dang-undang merupakan kewajiban bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Idealnya, sebagian besar kebutuhan investasi ditanggung oleh Pemerintah Provinsi dan 21 Pemerintah Kabupaten dan Kota. Namun, kecenderungan komposisi APBD yang timpang antara belanja langsung dan tidak lang-sung, prioritas pembangunan daerah yang berbeda-beda, dan ketergantungan pada dana pusat me-nyebabkan alokasi anggaran AMPL pada APBD Provin-si, Kabupaten dan Kota selalu jauh dibawah kebu-tuhan. Diperlukan beberapa langkah strategis untuk menggugah dan meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs dibidang AMPL.

Pertama adalah pembentukan dan konsolidasi Ke-lompok Kerja AMPL atau Pokja AMPL di level provinsi hingga kabupaten/kota. Berdasarkan data Pokja AMPL Provinsi NTT, hingga saat ini, baru terbentuk 13 Pokja AMPL dari 21 Kabupaten/Kota yang ada di NTT. Pokja AMPL merupakan forum koordinasi lintas sektor pemerintah, seperti; Bappeda, Dinas PU, Dinas Kesehatan, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah, Sekretariat Daerah (bagian kesra), BPS dan badan/dinas lainnya. Pelaku pembangunan AMPL lainnya, seperti lembaga non pemerintah (LSM), akademisi, jurnalis, legislator, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerhati ling-kungan serta perusahaan swasta biasanya juga terli-bat dalam Pokja AMPL ini, bahkan memainkan peranan yang strategis dalam membantu penguatan kelem-bagaan Pokja AMPL.

Setelah Pokja AMPL terbentuk, tahap kedua adalah penyusunan dokumen kebijakan dan strategi pem-bangunan AMPL. Penyusunan dokumen ini tentu tidak boleh lepas dari acuan pembangunan daerah yang ter-tuang dalam RPJMD dan Renstra SKPD. Melalui proses ini, kondisi spesifik daerah, terkait pencapaian, tan-tangan dan peluang pembangunan AMPL dapat di-petakan. Dokumen kebijakan dan strategi AMPL inilah yang harus menjadi pegangan Pokja AMPL sebagai amunisi untuk advokasi.

Tahapan selanjutnya adalah advokasi kebijakan pem-bangunan AMPL. Advokasi ini tidak saja dalam rangka memberikan payung kebijakan bagi pemenuhan kebu-tuhan dasar masyarakat. Namun juga menggalang dukungan maupun membangun komitmen bersama untuk memberikan prioritas anggaran pada sektor AMPL. Satu poin penting yang tidak boleh dilupakan dalam advokasi kebijakan pembangunan AMPL, adalah penekanan pada

pembangunan yang berbasis masyarakat. Kenapa harus berbasis masyarakat? Ka-rena hanya melalui pelibatan masyarakat secara penuh, dari proses perencanaan hingga pembangunan maka pengelolaan sarana paska konstruksi dapat ber-jalan dengan baik. Singkatnya, partisipasi masyarakat meningkatkan rasa kepemilikan sarana AMPL dan menjamin keberlanjutannya. Ada bukti nyata di berbagai desa di NTT yang masyarakatnya mampu mengelola sarana AMPL dengan baik melalui pengum-pulan iuran bulanan. Bahkan beberapa kelompok pengelola sarana tersebut memiliki tabungan hingga puluhan juta rupiah. Selain itu, masyarakat juga ha-rus mendapatkan informasi yang cukup mengenai pili-han teknologi sarana AMPL ini. Hal ini untuk menghindari teknologi yang ditawarkan tidak mampu dikelola oleh masyarakat, karena membutuhkan biaya perawatan dan pemeliharaan yang tinggi.

Beberapa langkah strategis diatas apabila dilakukan dengan serius bisa membuka peluang percepatan pembangunan sektor AMPL. Kebutuhan dana sebesar 1,5 trilyun pertahun mungkin tidak akan bisa ter-penuhi seluruhnya. Tetapi melalui kehadiran Pokja AMPL, adanya dokumen perencanaan AMPL yang kom-prehensif, strategi dan kebijakan yang sesuai dengan kemampuan masyarakat maupun pemerintah daerah, maka proses pembangunan akan lebih terencana dan terkoordinasi dengan baik. Bappenas menunjukkan data tren investasi sektor AMPL di 16 kabupaten/kota di Indonesia; bahwa dengan pendekatan semacam ini, alokasi anggaran AMPL dapat naik 4 hingga 10 persen.

Namun apabila pembangunan AMPL tidak dipandang sebagai prioritas, maka bukan tidak mungkin, nasib Mama Tamar yang setiap hari harus memikul air se-jauh 1 kilometer dan buang air besar di kebun akan diwariskan kepada anak-anaknya hingga puluhan ta-hun yang akan datang.

 

One thought on “7,5 Trilyun Rupiah, Kebutuhan Investasi Air Minum dan Sanitasi di NTT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *