Di salah satu sudut rumah, pipa itu terlihat lucu, karena terlantar sendirian dan nyaris diselimuti belukar. Ujung pipa itu menggantung tanpa balutan kran, seperti sebuah komedi tentang paradoks pembangunan. Tapi saya tidak sedang ingin menertawakan kelucuan tersebut. Seringai kecil dibibir ini membentuk sejumput senyum kecut. Beberapa kawan yang menemani saya hanya bisa terbengong dan bingung tak tahu berbuat apa. Sambil mengelus dada, saya menghela napas panjang, “hufffff!”
Desa yang hijau, subur dan permai ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari Kota Kalabahi, Ibukota Kabupaten Alor. Seharusnya perjalanan saya ke Desa Aimoli, Kecamatan Alor barat Laut bisa sangat menyenangkan. Sembari menyusuri jalan berliku mengikuti lekuk teluk kenari, saya bisa menikmati pemandangan yang indah, keseharian masyarakat yang bersahaja dan pesona bebukitan yang hijau kecoklatan. Tapi itu semua sirna ketika saya sampai di ujung desa dan melihat pipa yang terbujur kaku tak tersentuh, persis dalam pose yang sama ketika terakhir saya berkunjung setahun yang lalu. Dibeberapa tempat, Kran-kran air patah menyisakan pipa kosong tanpa aliran air setetespun. Saya merasakan ekspresi ketidakpedulian atas berkah yang seharusnya disyukuri ini. Bahkan saya heran melihat wajah-wajah yang tidak gusar melihat kegagalan ditempat ini.
Jika dalam blog, saya banyak bercerita tentang Desa Mawar di Kecamatan Pantar Timur, Kabupaten Alor. Maka desa yang saya ceritakan ini adalah kebalikannya. Kalau cerita tentang Desa Mawar adalah sebuah kesuksesan, maka Desa Aimoli adalah KEGAGALAN SAYA. Ya, benar! KEGAGALAN SAYA, dua kata yang ditulis dalam huruf capital dan tebal itu untuk menyatakan rasa tangggung jawab saya. Semoga hal ini bisa menjadi pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga untuk tidak terulang lagi dikemudian hari. Karena saya telah melakukan satu keputusan yang salah dan kemudian berkibat sangat fatal. Saya ikut memutuskan untuk membangun sarana air perpipaan di desa ini yang sebenarnya TIDAK DIBUTUHKAN oleh masyarakat.
Desa Aimoli sebenarnya cukup subur dan masyarakatnya mudah mendapatkan air. Sumur bisa digali dengan mudah, tidak sampai 2 atau 3 meter sudah mendapatkan air tawar yang layak. Belum lagi, di desa ini ternyata sudah ada 2 sarana air perpipaan, satu sistem dibangun oleh sebuah organisasi non profit internasional dan satu lagi dibangun melalui dana proyek pemerintah.
Saya teringat pada awal tahun 2007 yang lalu, ketika saya berkunjung ke Desa Aimoli dan melihat ada jaringan perpipaan yang masih berfungsi. Hanya saja, kedua sistem itu tidak bisa menjangkau seluruh lokasi rumah peduduk. Di beberapa sudut desa juga ada sumur-sumur yang digunakan oleh masyarakat. Sebenarnya, bisa saja ketika itu saya memutuskan untuk tidak membangun sistem perpipaan lagi. Tapi, saya mengambil keputusan yang salah.
Ketika itu saya masih sangat percaya prinsip kebutuhan masyarakat dan partisipasi, dengan indikator yang sederhana, yaitu pernyataan seorang tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat itu meyakinkan saya dan mengatakan, “kami butuh air dan siap berpartisipasi demi kesejahteraan masyarakat di desa kami.” Tapi kalimat itu tidak pernah terbukti. Masyarakat tidak benar-benar butuh dan partisipasi masyarakatpun tidak benar-benar terjadi dengan sukarela.
Kini yang tertinggal adalah penyesalan yang dalam. Fasilitas senilai ratusan juta itu tidak berfungsi sama sekali. Ya Allah maafkanlah hambamu ini.