Amboi… adakah yang berminat hidup seperti ini. Menghabiskan umur didalam mobil bermanjakan kemacetan. Jakarta tidak saja identik dengan macet, tapi juga ruwet. Beberapa kali mampir ke Jakarta, saya merasa kota ini sungguh-sungguh merepresentasikan analogi rimba belantara beton. Betapa tidak, gedung, jalan, dan jembatan seperti hidup. Mereka lahir, tumbuh dan bahkan berkembang besar serupa raksasa. Meski ada beton yang harus diruntuhkan, itupun karena sudah uzur dan tidak lagi memberikan manfaat bagi manusia modern, dengan cepat berganti dengan beton yang baru. Selalu saja saya dibuat terheran-heran dengan pertumbuhan belantara beton di Jakarta ini.
Di sebuah pojok Jakarta, disekitar Lebak Bulus, saya ingat betul daerah itu. Sekitar tahun 2000, saya sempat menginap dirumah seorang teman disana. Tapi, beberapa bulan kemudian (atau mungkin setahun atau dua, saya tidak ingat persisnya) simsalabim, tiba-tiba saja sebuah jembatan layang menggantung diatas jalan yang saya biasa lalui dengan metromini. Kini, sepuluh tahunan kemudian, jalan layang dan jalan dibawahnya di daerah Lebak Bulus itu tidak jauh berbeda kondisinya pada pagi dan sore hari. Macet dan ruwet.
Ah… kapan berhentinya pertumbuhan beton-beton itu ya.