Seorang pengusaha batik tulis sutra di Dusun Sidorejo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta pernah mengeluh, “saya kasihan melihat bayi-bayi di sekitar sini, sekujur tubuh mereka dipenuhi bercak merah”. Ia tidak menyangka jika limbah cair dari tempatnya memproduksi batik dapat berpengaruh demikian buruk. Namun K.R.T Daud Wiryo Hadinagoro – begitu nama bujangan yang masih kerabat keraton itu – beruntung, karena ia tidak sampai diprotes oleh warga. Daud berinisiatif segera membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah limbah cair pabriknya yang banyak mengandung zat berwarna. Beberapa bulan setelah ia membangun IPAL, mutu air tanah di sekitar pekaryan batiknya – Daud menyebutnya demikian ketimbang pabrik – berangsur-angsur membaik.
Batik yang dihasilkan oleh Daud memang agak berbeda dengan kain batik produksi pabrikan lain yang menggunakan teknologi cap atau sablon. Selain masih menggunakan cara konvensional, kain yang dipergunakanpun terbuat dari bahan sutera. “Dengan 50 orang karyawan, saya membatasi produksi hanya 30 helai kain pertahunnya,” jelas Daud. Maka tidak usah heran jika selembar kain batik sutera produknya dapat mencapai harga Rp. 9.000.000,-. Suatu angka yang fantastis bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan.
Air limbah industri batik dihasilkan dari proses pencelupan pemberian warna dan pencucian. Dari ratusan perusahaan batik yang ada di Indonesia, sedikit sekali diantara mereka yang menempatkan proses pembuatan batik sebagai karya. Perusahaan-perusahaan itu lebih melihat batik sebagai produk yang harus dibuat massif ketimbang sebagai hasil karya cipta yang spesifik dan unik. Jika Daud yang hanya memproduksi 30 helai setahun saja air limbahnya dapat membuat gangguan kesehatan kulit, apalagi pabrik batik yang memproduksi ribuan helai dalam setahunnya. Bisa dibayangkan volume air limbah yang mereka hasilkan.
Lain lagi cerita yang dialami oleh Kelompok Pengusaha Tahu-Tempe Mekar Sari Jaya, di Banjar Batur, Kota Denpasar, Bali. Menurut Basuki, ketua kelompok tersebut, selama ini mereka selalu ditekan oleh berbagai pihak, khususnya pemerintah Kota Denpasar agar segera membangun instalasi pengolahan air limbah tahu-tempe. “Kami sadar bahwa membangun IPAL merupakan kewajiban kami,” ujar Basuki sambil menjelaskan bahwa kelompoknya kini sudah menyiapkan sejumlah dana untuk menyewa lahan sebagai lokasi IPAL.
Banjar Batur selama ini terkenal sebagai sentra agro industri tahu-tempe di Denpasar. “Sepuluh tahun yang lalu daerah ini masih sepi, tidak banyak penduduk yang tinggal di Banjar Batur,” Basuki bercerita. Ketika itu kawasan yang terletak tidak jauh dari Terminal Ubung belum sepadat seperti saat ini. Mungkin hal itu yang menjadi salah satu alasan para pengusaha yang sebagian besar berasal dari jawa ini memilih Banjar Batur sebagai pusat agro industri tahu-tempe. Namun seperti yang diakui oleh Basuki, Banjar Batur kini telah menjadi bagian dari Kota Denpasar. Maka sudah kewajiban bagi pengusaha pula untuk turut menjaga kualitas lingkungan di Kota Denpasar. “Kami sanggup bekerja sama untuk membangun IPAL,” Basuki berjanji.
Di Indonesia, kisah yang dialami oleh Daud atau Basuki merupakan hal yang jamak dan mudah ditemukan. Akan tetapi tidak gampang menemukan pengusaha yang peduli terhadap pencemaran lingkungan seperti mereka. Parahnya, pemerintah dan LSM khususnya yang bergerak dibidang lingkungan hidup sebagian besar hanya dapat berteriak mengingatkan para pengusaha tersebut tanpa dapat memberikan solusi pengolahan limbah cair yang tepat guna. Hal itu terungkap dalam pertemuan tahunan antara beberapa LSM lingkungan hidup yang tergabung dalam proyek DEWATS Indonesia, di Yogyakarta, 17 – 21 Maret 2003 lalu.
DEWATS adalah singkatan dari “Decentralized Wastewater Treatment system” atau sistem pengolahan air limbah terdesentralisasi. Selain sebagai nama teknologi pengolahan limbah cair tepat guna, DEWATS juga merupakan nama program kerjasama antara BORDA (Bremen Overseas Research and Development associate) Jerman dengan LPTP (Yayasan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan) Solo, BEST (Bina Ekonomi Sosial Terpadu) Tanggerang dan Bali Fokus, Bali. Sejak tahun 1994, DEWATS Indonesia telah melayani ratusan permintaan yang sebagian besar merupakan rumah sakit, masyarakat didaerah kumuh perkotaan, peternakan sapi dan agro industri yang menghasilkan air limbah dengan kadar organik tinggi semacam industri tahu-tempe.
Wakil BORDA untuk Indonesia, Andreas Ulrich mengingatkan kepada kepada seluruh pelaku yang bergerak di bidang lingkungan hidup, jangan terbatas advokasi dan penyadaran saja. Namun harus berupaya menyelesaikan permasalahan. Ia melihat saat ini banyak pihak, khususnya LSM yang hanya dapat memetakan permasalahan, tapi lupa – atau tak mampu – memberikan solusi yang mendetail hingga teknis. Begitu pula halnya dengan halnya pengusaha-pengusaha yang sudah sadar dan ingin membangun IPAL. Mereka rata-rata bingung kepada siapa harus meminta tolong membuatkan IPAL yang tepat guna, effesien dan efektif baik dari segi investasi, konstruksi, perawatan maupun operasional.
Berkaca dari realitas yang dialami oleh Daud dan Basuki diatas, BORDA melalui program DEWATS Indonesia, berupaya meningkatkan kualitas lingkungan baik kepada masyarakat di perkampungan kumuh perkotaan dengan membangun sarana fasilitas umum maupun memberikan jasa pelayanan desain, supervisi dan pembangunan IPAL kepada pengusaha industri, kecil dan menengah yang membutuhkan.
Konstruksi pengolahan limbah cair DEWATS dikenal sebagai teknologi tepat guna, karena teknologi ini tidak memerlukan biaya operasional dan pemeliharaan yang tinggi. Bahkan beberapa “produk” pengolahan limbah DEWATS mampu menghasilkan gas metan yang berguna sebagai bahan bakar pengganti elpiji atau minyak tanah. Beberapa pengusaha tahu-tempe di Boyolali dan puluhan peternak sapi di Kabupaten Semarang telah merasakan manfaat biogas dari teknologi pengolahan limbah DEWATS ini.
Selain itu teknologi DEWATS juga dapat digunakan untuk mengolah limbah cair rumah sakit dan hotel. Tidak kurang 20 rumah sakit dan hotel di Jawa dan Bali telah membangun IPAL yang menggunakan teknologi DEWATS. Umumnya unit pengolahan limbah cair rumah sakit terdiri atas pengolahan anaerob dan aerob. sebagai pengolahan anaerob digunakan ABR (Anaerobik baffle reaktor), AF (Anaerobik Filter) dan HSF (Horisontal Sand Filter) sedangkan proses aerob terjadi pada kolam indikator.
Selain itu teknologi DEWATS juga dapat dipergunakan untuk mengolah limbah domestik yang berasal dari proses mandi, cuci dan kakus. Kota Tanggerang contohnya, dimana BEST berhasil mengembangkan CBS (Community Based Sanitation) di berbagai perkampungan kumuh. Sebagai salah satu mitra BORDA sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 ini, BEST berhasil membangun dan mengelola 25 unit MCK untuk masyarakat di perkampungan kumuh. MCK yang dibangun oleh BEST Tanggerang bukan sembarang MCK.
Apakah yang membuat MCK yang dibangun oleh BEST ini berbeda? “Setidaknya ada tiga komponen kelebihan MCK yang diberi nama MCK Plus++ ini ketimbang MCK biasa,” jelas Hamzah, Direktur Eksekutif BEST Tanggerang. Pada sebuah MCK Plus++ terdapat, pertama, pelayanan sanitasi untuk masyakarakat, seperti kamar untuk mandi dan toilet juga tempat khusus untuk mencuci. Kedua, MCP Plus++ menyediakan sarana air bersih dan terakhir ialah unit pengolahan limbah DEWATS yang terintegrasi berada dibawah struktur MCK tersebut. Tiga komponen keunggulan itulah yang kemudian direplikasi di beberapa wilayah lain seperti di Surabaya dan Bali.
Sebagai mitra BORDA yang paling muda, Bali Fokus baru akan melaksanakan pembangunan MCK di Banjar Sari, Ubung, Denpasar, Bali. “MCK di Banjar Sari ini akan diberi nama MCK Jempiring,” tutur Made Yudi Arsana, Pelaksana Program DEWATS di Bali Fokus. Pria lulusan ITS ini mengakui persiapan sosial di Banjar Sari membutuhkan waktu yang relatif lama. “Kami tidak ingin MCK di Banjar Sari menjadi monumen setelah dua tahun dioperasikan,” lanjutnya. Memang selama ini proyek perbaikan sanitasi di lingkungan kumuh yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak pernah berumur panjang. Penyebab utamanya ialah proyek pemerintah tersebut sering tidak melibatkan masyarakat. Tanpa ada partisipasi aktif masyarakat jelas tidak akan menggugah rasa kepemilikan masyarakat terhadap fasilitas umum itu.
Maka tidak mengherankan jika program pengadaan fasilitas umum semacam MCK Plus++ atau MCK Jempiring ini membutuhkan persiapan sosial antara 2 sampai 6 bulan. Persiapan sosial di Banjar Sari saja membutuhkan waktu 6 bulan. Dimulai dari proses sosialisasi dengan masyarakat, penentuan lahan, desain MCK sampai dengan kesepakatan masyarakat untuk berkontribusi dalam perawatan dan pemeliharaannya. “Bahkan nama MCK Jempiringpun merupakan saran dari salah seorang anggota masyarakat,” tambah Yudi. Ia merencanakan medio Bulan September 2003 yang akan datang, MCK Jempiring sudah bisa beroperasional. Lebih lanjut pria yang masih membujang ini berjanji akan membantu masyarakat di pemukiman padat, pengusaha tahu-tempe, peternak sapi dan babi yang berminat dan siap berkontribusi untuk membangunkan IPAL.
Note: Tulisan ini dipublikasikan pada Tabloid Ibra, edisi kedua, Juni 1-30, Tahun 2003
One thought on “DEWATS : Teknologi Pengolahan Limbah Cair Tepat Guna”