The Hunting Party

The Hunting Party Poster Ok

Pertama kali melihat cover film ini di sebuah persewaan VCD, saya tidak begitu optimis dengan isinya. Satu-satunya yang membuat saya tertarik untuk mencabut cover film The Hunting Party dari rak film adalah karena Richard Gere yang elegan itu menjadi aktor utamanya.

Ketika itu, suasana hati saya tidak sedang in the mood untuk menyaksikan film dar, der dan dor atau melahap tontonan tentang tragedi kemanusiaan yang kebablasan dan dengan telanjang ditayangkan. Tapi apa daya, hanya film yang konon dibuat berdasarkan kisah nyata ini yang tersisa dari jajaran film baru layak tonton yang tersedia.

Genrenya action-adventure-thriller, dan bercerita tentang dua orang sahabat pewarta TV yang gemar berpetualang di negara-negara yang sedang dilanda konflik bersenjata. Adalah Simon Hunt, reporter urakan dan rada slebor beserta Duck, tukang sorot kameranya yang diawal film bak koboi Amerika berada ditengah tengah berbagai perang dipelosok dunia. Mereka diapresiasi karena keberaniannya meliput berita digaris depan dimana ledakan dan desingan peluru melintas begitu saja melewati tubuh mereka. Untuk terlihat lebih realistis, Duck sempat terluka. Wah, benar-benar khas Hollywood deh.

Tapi ternyata itu adalah 5 menit awal dari sisa cerita sesungguhnya yang memicu empati. Duo koboi wartawan TV ini, tiba-tiba saja terlihat sangat emosional dalam mewartakan pembantaian kaum muslim di salah satu kota di Bosnia. Dalam siaran langsungnya, Hunt jelas-jelas mempersalahkan tentara UN yang tidak sedikitpun berupaya mencegah pembantaian itu. Kata Hunt, “dasar elu-elu pade ye, United Nothing deh lo!”

Singkatnya, Hunt dipecat dan menjadi reporter gelandangan untuk berbagai stasiun tv didunia. Sementara Duck justru mendapat promosi dikantor pusat stasius tv itu.

Dari situ, cerita melompat 5 tahun kemudian ketika peringatan perdamaian di Bosnia pada tahun 2000 ramai diliput berbagai media internasional. Duck, Franklin Harris (sang penyiar berita yang culas) dan Benjamin Strauss (diperankan dengan sangat baik oleh Jesse Eisenberg) salah seorang anak pemilik tv mendarat di Bosnia. Pertemuan antara Duck dan Hunt serta beberapa jurnalis spesialis perang lainnya membawa mereka kedalam suasana reuni, dimana ketegangan, adrenalin dan kepuasan meliput berita menjadi satu.

Konyolnya, Hunt menawarkan ide gila pada Duck, “Ayo kita tangkap si Fox agar bisa dapat hadiah 5 juta dollar.” Fox adalah nama julukan pada Radoslav Bogdanovic, aktor intelektual dan juga panglima perang pemusnahan etnis muslim Bosnia. Ide gila ini ditanggap Duck dan Benjamin si anak kutu buku pemilik tv tak ketinggalan merengek ikutan petualangan mereka. Jalan cerita setelah itu berliku seperti lekuk jalan pegunungan luar kota Sarajevo. Mulai dari bertemu dengan staff UN yang pura-pura bego atau memang benar benar bego (gak pernah tahu ada war criminals di wilayahnya bekerja), tersesat dipedesaan republik srpska, bertemu dengan Kroasia cebol penyelundup barang, ditembak pelayan bar karena tidak membayar makan siang sampai pada disangka CIA oleh si culun Boris sang polisi UN. Nah, gara-gara Boris inilah, Hunt, Duck, dan Benj harus berurusan dengan CIA beneran.

Akhir cerita, Fox benar-benar dapat mereka tangkap dan dibawa ke sebuah kota muslim yang dahulu pernah dibumihanguskan oleh Fox. Hunt memaki, “tau rasa lo! Itu akibatnya membunuh pacar gue.” Nah loh, jadi ternyata diantara rasa empati yang dibangun dengan komedi gelapnya, Hollywood taste masih sempat disisipkan dalam film ini. Terkuak sudah, mengapa 5 tahun yang lalu, Hunt berang dan emosional didepan tv. Pacarnya yang muslim itu ternyata sedang mengandung anaknya dan dibantai secara biadab oleh tentara Serbia dibawah pimpinan Fox.

Diluar tipikal percintaan Hollywood itu, saya mengapresiasi banyak hal atas film karya sutradara Richard Sephard yang dirilis tahun 2007 ini.

Pertama: Menguak dengan gamblang kemunafikan Amerika yang membiarkan penjahat perang berkeliaran bebas. Bagaimana tidak, “Dalam lima tahun, kenapa CIA, The Hague, PBB dan NATO tidak bisa menemukan orang yang dapat kita temukan hanya dalam dua hari,” seperti yang diumpat oleh Hunt pada Agen CIA.

Kedua: Ada ironi dalam sense of humanity. Bukan pertentangan antara Muslim dan Kristen atau perang antar etnis Serbia dan Bosnia. Tetapi sudah seharusnya segala bentuk peperangan dimuka bumi ini harus dihindari. Hunt paham benar itu dan setuju lahir batinnya. Namun rupanya, keinginan dia untuk memburu dan membunuh para penjahat perang (yang menurutnya, jika mereka dibunuh dapat menyelamatkan ribuan jiwa lainnya) tentu bukan jawaban terbaik.

Ketiga: Tampilan lanskap kawasan balkan yang molek sedikit bisa memanjakan mata. Namun, sutradara sepertinya selalu mengingatkan, “awas ribuan ranjau masih tertanam dirumputan hijau yang indah itu.” Arsitektur gaya soviet yang siku dan kaku juga dapat dilihat sekilas pada gedung bekas tempat olimpiade musim dingin dilaksanakan di Sarajevo. Tidak terlupa pula bidikan kamera gaya artistik retro pada mobil dan truk eropa timur, kursi bar dan bilik telpon umum yang membawa khayalan kita kalau Bosnia ternyata tertinggal dalam lipatan waktu puluhan tahun dibandingkan tempat lain didunia ini. Benar-benar komedi gelap, dimana keindahan dapat ditemukan pada tembok kaku Soviet yang penuh diselimuti lubang peluru.

Keempat: Pertanyaannya, “sejauh mana film ini dapat menarik perhatian politik dunia yang saat ini berpusar di Timur Tengah,” Saya kira pertanyaan ini adalah sebuah gugatan yang tepat untuk menyatakan agar jangan pernah melupakan masa silam. Karena rekonsiliasi bukanlah penghapusan ingatan akan kehilangan.

One thought on “The Hunting Party