Menolak “Agama” Modernisme

antiwar_bushwarhead

Poros utama dunia politik paska-Perang Dingin adalah hubungan antara kekuatan dan kebudayaan Barat dengan kekuatan dan kebudayaan peradaban-peradaban non-Barat

Samuel Huntington

Dalam sebuah buku yang tebal, Samuel P. Huntington (2001) meramalkan apa yang disebutnya the clash of Civilization atau benturan antar peradaban. Dimana dengan gaya yang khas seorang grand narative ia memetakan kekuatan kutub-kutub dunia paska runtuhnya komunisme di Uni Soviet. Menurutnya, benturan yang dahulu meminjam ideologi untuk semangat bertempur kini mengambil bentuk agama, ras dan budaya sebagai alasan untuk berperang. Ia memaparkan tanda-tanda zaman yang menjurus kepada polarisasi kutub Barat dan Timur sebagai ganti dari perkelahian antar kapitalisme dan komunisme yang telah mati. “Poros utama dunia politik paska Perang Dingin adalah hubungan antara kekuatan dan kebudayaan Barat dengan kekuatan dan kebudayaan peradaban-peradaban non-Barat,” tulis Huntington. Tak heran bila orang menyebut perseteruan Barat-Timur sebagai cikal bakal Perang Dunia III. Benarkah Ramalan Huntington itu?

Studi yang ditekuni oleh Guru Besar Ilmu Politik Universitas Harvard ini harus dipahami dalam konteks paska runtuhnya komunisme. Seperti juga yang “dibaca” oleh Francis Fukuyama dalam “The End of History” (2001) yang menyatakan runtuhnya komunisme sebagai akhir dari sejarah. Karena tidak ada kemungkinan lain diluar singularitas sejarah Barat dan itu berarti tidak ada sejarah selain sejarah Barat yang berlaku universal. Asumsi para penganut Grand Theory termasuk Huntington dan Fukuyama ialah bahwa sejarah berjalan secara obyektif dan uniform. Artinya seluruh partikel-partikel kehidupan di dunia ini yang sangat beragam dan kompleks bergerak menuju ke satu titik pusat peradaban, seperti diramalkan dalam teorinya.

Pusat peradaban yang dimaksud tak lain adalah keniscayaan modernisme – termasuk didalamnya praktek berpikir rasional, praktek bernegara yang demokratis dan praktek berekonomi ala kapitalis – sebagai konstruksi yang paling benar dan sistem terbaik yang pernah ada di dunia ini. Jadi, modernisme lahir sebagai sebuah “agama” baru yang menjanjikan keselamatan, kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bagi para penganutnya. Untuk menjaga Barat pada posisi hegemonis di dunia dan demi keutuhan “agama” itu maka Amerika mengambil posisi sebagai pemimpin atau dalam bahasanya Emha Ainun Nadjib disebut nabi “agama” modernisme.

 Perang “Agama”?

Pada titik inilah berlaku logika oposisi biner. Serangan terhadap Amerika – yang berperan seperti nabi dari sebuah “agama” – adalah serangan terhadap “kebenaran” dan itu berarti kebodohan, kesesatan juga kafir. Merubuhkan WTC, menubruk Pentagon dan mengancam Gedung Putih melengkapi logika hitam-putih umat manusia bahwa Tuhan menciptakan orang-orang baik untuk menyadarkan atau menumpas (kalau tidak sadar-sadar) orang-orang jahat. Dengan sendirinya peristiwa memilukan 11 September 2001 kemarin menegaskan posisi Amerika sebagai The God atau Tuhan yang menghadapi perbuatan iblis, setan dan jenis lain dari The Devil.

Untuk menuduh siapa yang berperan sebagai The Devil sungguh mudah bagi Amerika. Cendekiawan mereka toh pernah memprediksi benturan antar peradaban Barat dengan Timur. Dimana dalam kaca mata itu, Amerika adalah representasi dari Barat sedangkan musuh Barat dalam logika oposisi biner adalah Timur. Maka tinggal pilih saja negara Timur yang memiliki potensi merusak alur tunggal sejarah dunia. Bisa jadi Irak, Iran, Libya, Afganistan atau Indonesia sekalipun ditunjuk hidungnya oleh Amerika. Namun mungkinkah negara adi daya itu mencurigai Jerman atau Italia – yang pernah menjadi musuh pada Perang Dunia II – sebagai dalang bencana yang disebut-sebut Pearl Harbour jilid II.

Bagi saya perbuatan pilot gadungan yang menabrakkan diri ke gedung WTC itu memang sangat keji dan patut dikutuk sebagai The Devil. Tapi ada baiknya mendengarkan isi hati mereka yang dituduh The Devil oleh Amerika sebelum menghakiminya. Diantara Bangsa Arab khususnya Libya, Iran dan Irak, Afganistan dan Sudan, sepak terjang Amerika di wilayah mereka bukanlah hal baru. Irak sampai saat ini masih di sepak dari pergaulan dunia internasional, siapa lagi kalau bukan atas inisiatif Amerika. Sedangkan Libya dan Sudan pernah di terjang oleh rudal Amerika, yang harga rudalnya mampu memberi makan seluruh rakyat kedua bangsa naas itu. Warga palestinapun tidak habis pikir, bagaimana kampiun demokrasi sekaliber Amerika tidak berpihak kepada perjuangan mereka melawan penjajahan zionis Israel. Di sebagian dunia Arab, Amerika adalah monster yang menginjak-injak dan melecehkan martabat mereka. Itulah potret Amerika di mata sebagian penduduk bumi belahan Timur. Ia bukanlah sosok tuhan dengan segala mimpi keselamatan, kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bagi para penganutnya. Karena mimpi itu hanya milik segelintir masyarakat yang menguasai ekonomi, persenjataan berat dan kekuasaan, atau mimpinya orang Barat khususnya mimpi Amerika.

Tidak salah kalau kemudian pemimpin Revolusi Iran pernah melaknat Amerika dengan sebutan “Setan Besar”. Bagaimana tidak, dalam mempertahankan dominasinya, Amerika menggunakan perangkat ekonomi, teknologi militer dan pengaruh kekuasaan yang dimilikinya. Tak jarang ia menggunakan standar ganda untuk negara-negara di luar Barat. Di satu sisi Amerika adalah jagonya demokrasi dan hak asasi manusia, lihat bagaimana Bush menyatakan serangan terhadap Amerika adalah serangan terhadap fundamen negerinya, yaitu demokrasi. Namun di sisi yang lain ia berlagak cuek dengan berbagai kekejaman dan pelanggaran asas-asas demokrasi di beberapa negara tertentu, contohnya: Bosnia dan Palestina.

Oleh sebab itu kita dapat maklum jika ada sementara orang yang melihat serangan terhadap Amerika, sebagai aksi heroik, tugas suci (dari tuhan?) menumpas sendi-sendi kekuatan negara itu yang dianggap penjahat dunia. Singkatnya, adalah gerakan menolak “agama” modernisme, sebuah gerakan yang menolak singularitas sejarah, serta klaim-klaim kebenaran universalnya. Namun patut disayangkan, jika upaya melawan “agama” modernisme itu dilakukan dengan cara kekerasan

 

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Koran Bali, 7-10 Februari 2002