Desa Mawar yang memikat

Rumah Diatas Batu

Namanya Desa Mawar. Cukup unik bila didengar dan yang pasti mengundang tanya, misalnya, “seperti apakah Desa Mawar itu? Dimanakah letaknya?” Atau pertanyaan bernada selidik, “apakah bunga mawar banyak terdapat di desa itu, sehingga ia diberi nama Desa Mawar?” Pertanyaan-pertanyaan yang sama pula yang saya lontarkan kepada Abdurahaman Sang, seorang rekan kerja yang bertugas di lingkungan Bappeda Kabupaten Alor. Jawabannya cukup mencengangkan! Desa Mawar ternyata tidak ada sangkut paut sama sekali dengan Bunga Mawar. “Mawar adalah bahasa lokal di Pulau Pantar yang berarti Rumah diatas batu.” terang Abdurahman yang lebih biasa dikenal dengan panggilan Pak Man. Pria lulusan Universitas Muhammadiyah Malang ini kemudian menjelaskan bahwa dalam bahasa setempat, Ma memiliki arti rumah atau tempat tinggal, sedangkan war berarti batu. Sehingga mawar ditafsirkan sebagai rumah diatas batu. Masuk akal memang, mengingat desa ini memang berdiri diatas bebatuan karang hitam yang merupakan ciri khas daratan pepulauan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tersembunyi dibalik Pura

Bagi yang ingin tahu lokasinya, coba perhatikan peta Provinsi NTT dan telusuri jajaran pulau di Kabupaten Alor. Bila anda menemukan Pulau Pantar, maka Desa Mawar terletak di sisi pesisir Pulau Pantar yang berhadapan langsung dengan Pulau Pura, sebuah pulau kecil diantara Pulau Alor dan Pulau Pantar. Jika berangkat dari Desa Alor Kecil, lokasi Desa Mawar tidak dapat terlihat karena tertutup Pulau Pura. Karena letaknya yang tepat berada di selat antara dua pulau ini, tidak heran jika arus yang mengalir terkadang mengganas.


View Larger Map

Ditemani Lumba-Lumba

Perjalanan menuju Desa Mawar, bagi saya sudah merupakan salah satu episode petualangan yang yang mengasyikkan. Sampai saat tulisan ini dibuat, saya sudah dua kali bertandang ke Desa Mawar. Perjalanan pertama saya lakukan pada Bulan April 2007. Ketika itu saya menyeberang ke Pulau Pantar melalui dermaga Desa Alor Kecil (baca tulisan tentang Alor Kecil), dan berperahu melingkari Pulau Pura. Sedangkan perjalanan kedua saya ialah pada Bulan Oktober 2007. Waktu itu saya berangkat melalui Pelabuhan di Kota Kalabahi dan menyusuri teluk mutiara yang indah. Kalau beruntung, dalam perjalanan dengan perahu motor selama satu jam itu, kita dapat melihat lumba-lumba yang tebar pesona, berlompatan disebelah perahu. Sayangnya, saya tidak sempat membidik dan merekam atraksi mereka kedalam kamera digital.

Desa Mawar dari Kejauhan

Perahu Motor Putra Blaqar

Air… air….. oh air…..

Seperti umumnya desa-desa di daerah NTT, Desa Mawar memiliki permasalahan dengan akses sarana air bersih yang terbatas. Letaknya yang diketinggian, menyebabkan sumur gali menjadi tidak mungkin untuk dibangun. Selain kondisi tanah yang berbatu, elevasi air dalam lapisan dangkal bisa mencapai kedalaman lebih dari 20 meter. Itupun kalau beruntung dapat menemukan air. Satu-satunya sumber air yang memungkinkan ialah memanfaatkan sumber mata air yang berada di lembah gunung yang jaraknya sekitar 5 kilometer. Sebenarnya sudah terdapat jaringan perpipaan dari mata air tersebut dan mengalir menuju pusat Desa Mawar. Namun, seperti umumnya sarana air bersih di pedesaan, jaringan perpipaan yang menghabiskan biaya ratusan juta rupiah tersebut mangkrak dan tidak terawat. Beberapa pipa pecah, bocor atau rusak. Bahkan ada bagian pipa transmisi yang sengaja dibocor oleh masyarakat untuk mendapatkan airnya. Dengan kondisi seperti ini, jelas saja air tidak akan bisa mengalir sampai pusat desa karena baik debit maupun tekanan air sudah merosot drastis. Akibatnya bisa ditebak, masyarakat tidak dapat lagi memperoleh air bersih. Lalu kemana mereka mengambil air? Terdapat satu buah sumur yang terdapat disekitar pantai yang diakses oleh seluruh warga Desa. Meskipun airnya terasa asin, namun itulah satu-satunya sumber air yang dapat dipakai.

Pelabuhan Chapera, Manatang, Desa Mawar

Kantor Desa Mawar

Menyantap Jagung Rebus di Tengah Ladang

Dua kali bertandang ke Desa Mawar, dua kali pula saya mengalami hal yang menakjubkan. Pada saat kunjungan pertama ke Desa Mawar, saya harus berjalan kaki tidak kurang dari 10 kilometer, naik turun bukit dan gunung. Tugas saya sangat jelas, memeriksa mata air yang akan menjadi sumber air untuk disalurkan ke Desa Mawar. Mata air itu terletak didataran tinggi Pulau Pantar. Tidak ada jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor apalagi jangan membayangkan jalan beraspal untuk menuju mata air. Infrastruktur di Pulau ini sangat minim. Penduduk di desa pegunungan misalnya, harus berjalan kaki sejauh puluhan kilometer turun gunung menuju desa-desa pesisir dimana mereka dapat berbelanja atau menjual hasil ladang di pasar. Bersama-sama masyarakat Desa Mawar (sekitar 10 orang), kami mulai berjalan kaki dari pusat Desa Ombay. Perjalanan menuju mata air ditempuh dengan menyusuri sungai, ladang, dan hutan. Bagi masyarakat di daerah dataran tinggi Pulau Pantar, berjalan di jalanan setapak yang menanjak dan terjal sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Namun tidak bagi saya. Baru 100 atau 200 meter mendaki, saya harus berhenti menarik napas panjang. Terkadang kami berhenti ditengah ladang melepas penat sambil menyantap jagung yang ketika itu sedang panen.

Menyusuri sungai, ladang, dan hutan

Beristirahat di ladang jagung

Mengayuh Sampan

Saya bersyukur memiliki kesempatan untuk lebih menikmati indahnya alam dan kehangatan masyarakat Desa Mawar di Pulau Pantar ini pada kunjungan kedua. Disela-sela kegiatan bersama masyarakat, saya berkesempatan mengayuh sampan ditepian pantai desa. Wow, pengalaman yang menakjubkan bagi saya yang orang “setengah kota, seperempat desa dan seperempat katrok” ini. Alur selat yang deras ternyata cukup berpengaruh dan membuat sampan yang saya naiki bergoncang. Sempat sport jantung juga, tapi kawan dari Desa Mawar menenangkan saya, “tidak apa-apa, arusnya masih tenang.”

Bersama dengan Pak Man yang menemai saya, kami menginap di Desa Mawar satu malam. Wah, boleh dibilang ini adalah pengalaman yang luar biasa. Bermalam di poliklinik desa, pada desa tanpa listrik, air asin untuk mandi, dan kasur apek. Mengenai makan? Seluruh penduduk di Desa Mawar adalah kristiani, tapi mereka sangat toleran dan menghargai kaum muslim seperti saya dan Pak Man. Warga desa menyerahkan ayam kepada kami untuk disembelih. Nah, tentunya Pak Man lebih lihai menyembelih ayam daripada saya, yang lagi-lagi katrok untuk hal seperti itu.

Mengayuh sampan di Desa Mawar

 

Sepeda Motor diatas Perahu Motor

Diakhir kunjungan, aparat Desa dan tokoh masyarakat memberikan semacam tanda mata kepada saya, sehelai kain tradisional khas Alor. Kain itu kata mereka, sebagai penanda bahwa saya adalah bagian dari warga Desa Mawar. Sungguh suatu kehormatan yang luar biasa bagi saya. Terus terang saya merasa tidak layak untuk mendapatkan penghargaan dari mereka. Memperbaiki jaringan air untuk kemudian dapat dinikmati oleh masyarakat Desa Mawar, khususnya anak-anak, adalah hasil kerjasama tim. Ada tim di Jakarta yang bersusah payah mencari dana proyek, ada yang bertugas membeli pipa dan mengirim ke Alor, sebagian lagi terlibat sebagai konsultan yang melakukan survey dan penyusunan rencana anggaran biaya serta tidak lupa ada pegawai pemerintah, seperti Pak Man yang mengusulkan Desa Mawar ini untuk dibantu.

Lalu, saya dan Pak Man kembali ke Kalabahi. Ternyata mencari perahu motor yang biasa mengangkut penumpang menuju Kalabahi sulit sekali. Untung saja ada Perahu Motor Sedjati yang bersedia mengangkut saya, Pak Man dan tentunya sepeda motor milik Pak Man.

Sepeda Motor naik Perahu Motor

Pegang yang erat ya

4 thoughts on “Desa Mawar yang memikat