Pengantar tulisan: Tulisan ini disusun pada tanggal 10 Mei 2002 dan disunting ulang pada 12 April 2008 sebagai pesan “duka cita” atas meninggalnya mantan presiden kedua Indonesia, Soeharto. Duka cita atas bagian kelam sejarah Indonesia yang mungkin tidak akan pernah bisa terungkap kebenarannya.
————————————————————————————————————
sebuah catatan [lagi] tentang peristiwa 65. Hari itu, Jakarta kolaps! Pagi buta, diseantero kota, suara bedil bersahutan, menyalak, memiriskan hati. Entah apa yang terjadi ketika itu. Tak banyak yang tahu, (bahkan sampai sekarang setelah kematian Soeharto) apalagi untuk ribuan orang yang hidup jauh dari Jakarta dan tidak punya kuasa atas apa yang terjadi di malam itu. Tapi, ternyata sejarah punya keinginan tersendiri atas rentang waktu tertentu. Mereka yang jumlahnya ribuan itu dan hidup jauh dari ibukota, harus menanggung beban seumur hidup.
Sejarah, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, dipahami sebagai sesuatu yang jumud, ajeg, pasti (sepasti ilmu alam) dan hitam putih. Bahkan orang masih mempercayai dongeng tentang atheis yang menari telanjang dan dengan girang mengiris wajah musuhnya dengan silet, sebelum digiring dalam sumur mati. Tapi kawan, sejarah tidak sesederhana itu. Sejarah selalu rumit bagai benang kusut yang terkadang harus digunting supaya tidak menyulitkan. Satu momen yang sama bisa melahirkan beribu bahkan berjuta tafsir tentangnya. tulisan dibuat bukan untuk mengenang suatu momen agar tetap hidup di pojok tertentu kepala kita. Namun ia dikarang untuk melegitimasi sesuatu. Kalau perlu sejarah dapat menjadi penuh darah hanya untuk mempertahankan sebuah tafsir tertentu tetap hidup, otentik dan resmi diterima masyarakat.
Pada titik ini sejarah memperlihatkan rupa yang serakah. Ia menjajah ruang kemerdekaan kita. Bahkan ia hadir di ruang paling pribadi. Sejarah bukan lagi catatan tentang hal yang telah terjadi. Tapi lebih dari itu, sejarah adalah setumpuk kertas yang ditulis dengan darah. Sejarah Islam, sejarah Kristen, sejarah peradaban Yunani, sejarah Indonesia bahkan sejarah diri sendiri. Tak lain sekedar dokumen untuk menegaskan eksistensinya masing masing. Sejarah hanya milik mereka yang berkuasa. Tak ada tempat bagi yang kalah untuk dipahat dalam sebuah monumen kebesaran sejarah.
Coba simak contoh usang ini. Tentang Ken Arok yang menurut manuskrip kuno adalah keturunan dewa itu. Mungkinkah Ken Arok dapat menjadi dewa apabila dia tidak punya kuasa (baca: being a King). Bisa jadi ia menjadi dewa karena sukses “memoles” cerita seperti yang diinginkannya. Dengan kuasa yang dimiliki, siapa cendekia yang dapat menolak. Maka ditorehlah dalam manuskrip kuno, seperti apa yang selalu dipercaya kebanyakan orang jawa, bahwa raja pertama singosari adalah keturunan dewa. “Padahal,” kata seorang kawan baikku, “dia hanya seorang anak haram dari seorang pelacur desa.”
Kalau sejarah bisa berdarah, maka ia bisa pula menjarah. Ya! Sejarah yang menjarah itu adalah tulisan dalam buku teks SD hingga SMA, sejarah yang tertulis dalam manuskrip-manuskrip kuno. Semua sejarah yang hanya bisa dikenang melalui tulisan adalah sejarah yang menjarah hak hidup orang lain; orang yang terkalahkan. Seperti juga sejarah telah menjarah hidup Kebo Ijo yang menjadi tumbal Ken Arok.
Dulu, tahun 1998 yang lalu. Seorang kawan bertanya, “Ini saatnya, kita menentukan sikap. Menjadi penonton sejarah atau pelaku sejarah.” Aku tertawa kecut dalam hati. Bagaimana bisa aku yang bukan apa apa ini dapat menjadi pelaku sejarah. Tak mungkin pikirku. Bagaimanakah caranya supaya bisa tercatat dalam sejarah. Bukan sejarah kecil. Tapi sejarah besar. Apakah harus menjadi Ken Arok yang pembunuh itu. Atau mengikuti jejak Soeharto yang pembantai.
Eh, tiba tiba seorang kawan menyadarkanku (aku kadang percaya kawanku ini adalah malaikat). “Menulislah sesuatu yang enak dibaca,” katanya. Kemudian kawanku itu menyarankan untuk menulis pengalaman memakan nasi hangat dengan lauk yang nikmat, disebuah tempat yang syahdu. Ketimbang ngotot menulis sejarah besar yang terkadang harus dengan darah, amarah dan serakah. Lebih baik menulis hal hal yang kecil dan ringan ketimbang memaksakan ide ide besar yang kadang tidak muat di kepala karena terlalu sesak. Menulis blog juga mengasyikkan. Karena aku tidak terlalu dipusingkan dengan kepatutan redaksional, kerasionalan isi dan segala batasan sebuah tulisan yang resmi. So…. aku akan tetap menulis blog tanpa perlu ijin apalagi dipusingkan dengan norma kepatutan tadi.
Lalu, bagaimana dengan peristiwa 65. Sudah lama aku tidak mendengar kabar dari bapak-bapak itu lagi sejak keluar dari Bali tahun 2005 yang lalu. Tapi, sampai kini, aku masih bisa merasakan kemarahan mereka atas sejarah yang tidak pernah adil hingga akhir hayat.
(dedicated to Mas Ilham, Pak Natar, Pak Djenawi, and others who had been tortured for a period of time)