Ketut Kartiasih

pki-gerwani

Sumber foto blog Perjuangan Melawan Lupa : Fransisca Ria Susanti

Saya adalah anak dari pasangan I Nengah Bales dan Ni Ketut Widja. Kedua orang tua saya adalah karyawan di kantor notaris. Kakak-kakak bersekolah di HIS (HollandInlanderSchool). Pada waktu umur 5 tahun, saya dititipkan di sekolah MVVS sebab pasa saat itu tidak ada sekolah TK (Noorkhas). Saya terpaksa dititipkan di kelas 1 MVVS karena saya dapat mengikuti pelajaran kelas 1 maka setelah kenaikan kelas, sayapun dinaikkan ke kelas 2. Tahun 1941 saya tamat di MVVS kemudian melanjutkan ke sekolah Haus et School, dimana kepala sekolahnya orang Belanda yang bernama Jeffrau Ferkuin. Tahun 1942 mendaratlah tentara Jepang di Bali, maka sekolah kamipun tutup karena keadaan genting. Kami diajak mengungsi ke desa oleh orang tua kami karena rumah saya berada di pusat kota (wilayah Kaliasem). Barang-barang seisi rumah habis dijarah orang. Setelah beberapa bulan mengungsi dan keadaan mulai aman, kamipun kembali ke kota. Saya kemudian masuk sekolah bahasa Jepang. Kakak laki-laki saya ditugaskan di Karangasem,maka sayapun mengikuti kakak. Kakak saya pada waktu itu menjabat sebagai Mantri Pertanian dan Perikanan

Tahun 1948 saya berumur 16 tahun. Keadaan pada waktu itu masih bergolak. Tahun 1946 kakak saya gugur setelah pertempuran di Bangli. Tahun 1948 saya mengikuti Jajak Pendapat Perjuangan dengan jalan mencari dana untuk kepentingan kawan-kawan pemuda yang datang berjuang. Saya berusaha mencari dana dengan jalan mengajar bahasa Belanda. Per-orang saya pungut bayaran 25 sen perbulan. Siswanya ada 20 orang. Pada waktu itu sedang ramainya pasukan KNIL. Setelah saya mengajar beberapa bulan, kakak saya ditahan polisi Belanda selama 1 hari. Karena tidak ada bukti-bukti maka kakak saya dibebaskan. Sayapun sempat ditangkap ketika sedang mengajar dan ditahan selama setengah hari. Mungkin karena saya masih dibawah umur, maka saya dibebaskan.

Tahun 1950 saya bekerja di sebuah perusahaan di bagian pembukuan. Sehari-harinya saya mengambil les modes (kursus menjahit). Tahun 1951 saya mengikuti sekolah Pendidikan Masyarakat, itupun sambil bekerja. Tahun 1952 saya menikah, sekaligus mendapat panggilan bekerja dari kantor Pendidikan Denpasar. Tetapi karena suami saya tidak mengijinkan saya bekerja maka saya menolak panggilan tersebut. Suami saya menyarankan saya menjadi tukang jahit. Tahun 1956 saya sudah mempunyai 2 orang anak, 1 laki dan 1 perempuan.

Tahun 1960 saya mengikuti organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan pada tahun 1962 saya diangkat sebagai wakil ketua Gerwani DPD Bali.

Tahun 1963 gunung Agung meletus sangat dahsyat. Saya ikut dalam panitia bencana gunung Agung mewakili Gerwani. Tanggal 28 September 1965 saya pulang ke kampung bersama keluarga untuk kegiatan upacara adat Pitra Yadnya sampai dengan tanggal 30 September. Tanggal 1 Oktober 1965 saya kembali ke Denpasar. Saat itulah saya mendengar berita di radio bahwa ada peristiwa G 30 S PKI di Jakarta.

PERISTIWA YANG TIDAK DAPAT DILUPAKAN

Kisah peristiwa nyata dan benar yang bersifat keji dan biadab tahun 1965

Saya  adalah seorang ibu yang pada tahun 1965 telah berumur kepala tiga. Maaf…didalam tulisan inilah saya dapat mengungkapkan segala peristiwa yang pernah saya alami dengan penuh penderitaan. Sebelumnya saya minta maaf apabila dalam pengungkapan peristiwa ini terdapat kata-kata dan bahasa yang janggal.

Tanggal 15 Nopember 1965 kira-kira jam 12 malam, suami saya bersama anggota banjar (kelompok lingkungan setingkat RW) berjaga-jaga untuk kemanan di depan rumah. Tiba-tiba datang banyak orang mengambil suami saya lalu membawanya ke kantor polisi. Saya baru tahu suami saya diambil setelah seorang tetanga membangunkan saya bahwa suami saya telah diambil oleh orang-orang yang tidak mereka kenal. Esok harinya pada jam 7 malam saya mengirim pakaian untuk suami saya yang akan dibawa oleh temen baik suami saya. Setelah pakaian itu terkirim, kira-kira jam 8.30 malam datanglah seorang anak laki-laki berumur sekitar 15 tahun yang menyuruh saya cepa-cepat pergi dari rumah karena rumah saya akan dibakar. Secepatnya saya pergi dengan menggendong anak saya yang masih berumur 2 bulan serta anak saya yang lainnya yang dibantu oleh anak tersebut. Karena panik, saya tidak sempat membawa pakaian anak-anak sehingga yang terbawa hanya pakaian yang melekat dibadan saja. Untuk menyelamatkan anak-anak, saya pergi ke rumah mertua yang letaknya tidak jauh dari rumah saya. Malam itu pula seorang anak yang bernama Am datang, anak ini sering datang kerumah, dia juga menceritakan bahwa dia juga mendapat ancaman apabila dia berusaha menghalang-halangi rumah saya dibakar. Karena masih kecil dan diamcam akan dibunuh, maka dia lari ke sungai untuk bersembunyi. Malam itulah rumah saya dibakar. Betapa sedih dan pilu hati saya melihat keadaan rumah telah menjadi abu. Esok harinya sayapun mendengar bahwa anak laki-laki yang berusaha membantu saya telah dibunuh. Jam 8 pagi saya datang ke kantor polisi dimana suami saya ditahan. Sampai disana saya langsung menghadap seorang polisi. Setelah bernegosiasi dengan polisi tersebut, suami saya dibebaskan. Disaat suami saya melihat puing-puing rumah saya yang habis dibakar, tiba-tiba datang sekelompok pejabat Panca Tunggal (istilah pada waktu itu). Mereka mengambil suami saya untuk ditahan kembali. Saat itu saya merelakan sebagian anak saya dibawa oleh neneknya (ibu kandung saya). Sebenarnya saya sangat sedih berpisah dengan mereka. Tetapi mereka harus sekolah.

PERISTIWA PENEMBAKAN YANG MEMBABI BUTA

Pagi-pagi tanggal 7 Desember 1965 saya dan anak-anak beserta adik ipar sedang duduk-duduk diserambi rumah mertua dengan tidak bercakap-cakap sedikitpun. Tiba-tiba saja datang masa PNI yang beringas mengejar adik ipar saya dan menangkapnya. Sampai kini saya tidak tahu keberadaannya. Sayapun tidak luput dari penyiksaan. Saya dipukul dan didorong dengan besi oleh dua orang ke tempat pembantaian. Sampai disana, saya melihat seorang bapak petani tua beserta anaknya yang baru kelas 1 SMP telah mati ditembak. Saya bersama anak-anak disuruh berdiri di sampaing kedua mayat tersebut untuk di tembak. Tiba-tiba datang seorang laki-laki memakai kain sarung yang tidak saya kenal. Di saat orang tersebut menarik saya serta berkata, pulanglah bu – kok ibu ibu mau ditembak. Disaat saya melihat melihat bapak yang menarik tangan saya, tiba-tiba terdengar suara tembakan beberapa kali. Sayapun sempat menoleh siapa yang ditembak. Ternyata seorang mahasiswa kedokteran dan saudara sepupunya. Saya kenal anak-anak itu. Oleh karena anak-anak saya mengenal mereka maka mereka menjadi ketakutan dan sayapun pergi dari tempat itu. Saya menjadi bingung kemana harus pergi sebab rumah mertua sudah dihancurkan, terpaksa sayapun pergi ke balai banjar untuk berteduh. Tak lama kemudian datanglah anak-anak PR setempat ikut duduk disana. Setelah beberapa menit datanglah tameng dan segera menggiring anak-anak PR tadi. Anak-anak PR dipenjara sedangkan saya dan anak-anak saya digiring ke tempat pembantaian, untuk melihat kawan-kawan yang telah ditembak sebanyak 10 orang. Jelas yang menembak tak lain adalah TNI. Saat itu betapa perih hati saya. Saya benar-benar ingin menjerit melihat adegan itu. Saat itu anak-anak menarik tangan saya untuk cepat-cepat pergi. Sebelum beberapa langkah saya sudah tak sadarkan diri. Setelah sadar saya melihat anak-anak memeluk saya sambil menangis dan berkata ; bangunlah bu, nanti kita ditembak juga. Sayapun bangun sambil menggendong bayi saya. Dalam perjalanan anak saya bertanya kemana kita sekarang bu? Saya menjadi sedih, bingung, tidah tahu harus menjawab apa, karena anak saya tahu tidak ada yang berani menerima kami pada waktu itu. Karena hari sudah mulai malam, saya memberanikan diri untuk dtang ke rumah teman baik suami saya yang jaraknya kira-kira 2 km. Untunglah kami diterima dengan baik oleh mereka dan diberi makan. Semalam suntuk saya tidak bisa tidur karena memikirkan keesokan harinya kemana saya harus pergi  selanjutnya. Esok harinya saya pamit kepada tuan rumah, istrinya memeluk saya dan menangis seraya bertanya: kemana kalian akan pergi? Saya hanya menggelengkan kepala karena memang tidak tahu kemana akan pergi. Ditengah perjalanan kami melihat dokar (kereta kuda) lalu saya menyetopnya dan berkeliling. Kira-kira selama 1 jam karena saya tidak tahu kemana tujuan kami dan mungkin kusir dokar tahu keadaan saya, lalu dia menyarankan saya untuk datang ke lapangan puputan karena disana banyak pula orang yang senasib dengan kami. Karena pikiran sudah kacau dan saya bingung maka saya menerima saja usulan tersebut. Setibanya di lapangan (alun-alun) saya tidak langsung bergabung dengan mereka yang ada di lapangan. Tetapi kami pura-pura membeli bubur kacang hijau sambil mencari informasi. Tiba-tiba saja datang dua orang teman laki-laki mendesak saya sambil berbisik agar kami cepat-cepat masuk ke lapangan. Setelah masuk ke lapangan (alun-alun) dan berkumpul dengan teman-teman, mereka berkata bahwa tadi kami hampir ditangkap oleh 2 orang tameng yang datang dari arah timur. Setiap malam kami dikelilingi oleh tameng-tameng dan satu per satu teman laki-laki diambil untuk dibunuh. Setelah beberapa hari kami menginap di alun-alun sore harinya pukul 5 hujan lebat, kami tetap bertahan walaupun kami basah kuyub sebab tidak ada tempat berteduh. Betapa sedihnya saya melihat anak-anak gemetar karena kedinginan. Kira-kira pukul 6.30 sore datang seorang anggota RPKD menyuruh ibu-ibu dan anak-anak untuk berteduh hanya boleh di serambi kantor KODIM. Pada bulan Desember 1965 di KODIM kami berstatus berlindung. Bulan januari 1966 anak saya mengirim makanan untuk bapaknya ketempat bapaknya ditahan. Tahu-tahu anak saya datang menangis mengatakan bapaknya tidak ada. Sampai saat ini saya tidak tahu keberadaannya.

Setelah saya menjadi tahanan di KODIM saya diperbolehkan mengajak anak-anak walaupun status tahanan. Kami tetap tidak dapat makanan, untung ada kantin tempat kami membeli makanan. Pertengahan bulan Januari 1966 mulailah diperiksa ke tim PEPERADA. Setiap diperiksa saya tetap mendapat siksaan dan penghinaan dari polisi wanita. Muka, mata dan telinga selalu mendapat pukulan dengan sebatang sabun sunlight. Diperiksa tiap hari kecuali hari sabtu dan minggu.

STATUS TAHANAN

Pada waktu pemeriksaan bulan Maret 1966 benar-benar sangat menyedihkan. Pada waktu saya akan diperiksa maka bayi saya titipkan pad kawan yang belum mendapat giliran pemeriksaan. Sebelum saya selesai diperiksa bayi saya menangis. Kemungkinan bayi saya haus dan lapar. Tahu-tahu datanglah seorang polisi wanita mengambil bayi saya dan hendak dilemparkan ke dalam drum. Segeralah kawan saya merebutnya kembali. Alangkah kejamnya. Dimanakah letak kepribadian seorang perempuan yang mana mempunyai sifat keji dan biadab. Kebetulan saat itu saya datang karena sudah selesai diperiksa. Disaat saya menggendong bayi, tiba-tiba saya melihat kawan hamil besar diatas tandu. Dia tidak bisa berjalan karena disiksa dengan kopel (sabuk polisi) dan tidak sadarkan diri. Akhir bulan Maret 1966 saya diperiksa kembali. Saya ditanya masalah cap di paha dan lain-lain tetapi saya tetap membantahnya. Disanalah saya mendapatkan siksaan dan penghinaan yang tak patut diperoleh dari seorang wanita. Saya ditelanjangi serta diguyur dengan air serta sekali di pukul dengan gayung air. Tak luput muka saya disulut api rokok beberapa kali. Mulai itu saya menderita penyakit bermacam-macam selama 2 minggu tanpa mendapat perawatan dari pemerintah. Untunglah solidaritas dari kawan-kawan membantu saya.

Pertengahan April 1966 saya dipindahkan ke penjara. Bayipun saya ajak. Bulan September 1966 saya dipulangkan dengan status tahanan rumah. Bulan Oktober  1966 saya dipanggil lagi untuk diperiksa. Tiga hari saya diperiksa oleh perwiea TNI laki-laki. Semua tuduhannya saya tetap membantah walaupun saya diancam bermacam-macam. Akhirnya saya dipulangkan dan masih berstatus tahanan rumah dan tetap wajib lapor tiap hari Senin. Desember 1966 saya menjadi tahanan kota. Tahun 1968 jam 11 malam saya dibawa ke KODIM oleh seorang perwira dan seorang tamtama. 3 hari berselang saya mengalami kebutaan total. Sehari saya tidur agar bisa tenang. Syukurlah saya bisa melihat kembali. Mungkin karena kedatangan anak-anak, kasihan anak-anak masih kecil sedang membutuhkan biaya hidup dan bersekolah, saya sarankan kepada anak saya yang tertua agar dia menjual barang-barang perhiasan saya untuk kebutuhan mereka. Saya ditahan di KODIM tanpa mendapat makanan dan tidak diperiksa. Setelah 3 bulan saya dipulangkan dengan status tahanan daerah.

Mulailah saya memeras keringat lagi demi anak-anak yang sedang membutuhkan biaya hidup dan pendidikannya. Anak saya berjumlah 6 orang. Bayangkan betapa besar tanggung jawab saya yang tanpa suami, tapi saya tidak menyerah. Saya mempunyai keahlian menjahit dan menjual nasi bungkus kecil-kecilan. Pada tahun 1971 saya hendak ke Surabaya mengantar anak saya melanjutkan sekolah ke Surabaya. Oleh karena saya masih berstatus tahanan daerah saya harus minta ijin kesana kemari. Satu minggu lamanya barulah saya selesai mengurus ijin keluar daerah. Tahun 1973 saya dipanggil untuk diperiksa lagi di kantor PM. Sebelumnya saya sering kedatangan intel berpakaian preman. 5 hari saya diperiksa mengenai tahun 1965. Hari ke 5 saya langsung ditahan. Saya dimasukkan kedalam sel yang berukuran 1 x 2 meter gelap dan tanpa jendela. Anak-anak tidak diberi tahu bahwa saya ditahan. Inikah pemerintah yang harus dihormati dan dihargai yang tak mengenal kemanusiaan? Pada waktu itu anak-anak bingung kemana ibu mereka dibawa. Mereka berkeliling bertanya-tanya sampai akhirnya berselang 4 hari kemudian barulah mendapat kabar bahwa saya ada di penjara. Anak-anak mengirim pakaian tanpa dapat bertemu saya. Sampai sekarang anak-anak belum tahu bahwa saya pernah di sel kecil sebab saya menjaga perasaan anak-anak karena mereka masih sekolah, saya takut pelajaran terganggu. Pada tahun 1973 anak saya yang tertua putus sekolah karena melanjutkan usaha saya untuk membantu adik-adiknya. Tahun berganti tahun 4,5 tahun saya menjadi tahanan. Tahun 1977 saya dibebaskan. 1979 saya kawin dengan seorang pria yang mana rela dan sanggup membantu mengurus dan memberi perhatian pada anak-anak. Kami berkumpul semua dan sekarang anak semua sudah berumah tangga.

Demikianlah sekedar cuplikan pahit getirnya penderitaan yang pernah saya alami.

[catatan akhir: Karena kemalasan saya dalam menulis, terpaksa saya mendaur ulang dan copy+paste tulisan lama kedalam blog ini. Tulisan ini disadur dari transkrip wawancara dengan Ibu Kartiasih 18 April 2004]